Saat usia aku TK (Taman
Kanak-Kanak). Aku adalah seorang yang bandel dan tidak bisa dikasih tahu.
Sering merengek minta dibelikan mainan, kabur dari TK karena lihat
“penampakan”, sering pulang sore karena main, dan lain sebagainya. Kalian tahu
apakah ibu aku diam saja? Tentu tidak. Ibu selalu siap dengan senjata
andalannya di rumah. Sebuah SAPU LIDI. Yup, sapu lidi yang siap dipakai untuk
mukul aku. Aku setiap dapat pukulan itu tentu saja menangis dan kemudian kabur.
Itu saat aku masih TK di Tangerang (sekarang jadi bagian dari Tangerang
Selatan). Kemudian aku pindah ke Surabaya. Aku di sana malah menjadi pendiam.
Kenapa? Bully secara verbal dimulai
di sana. Saudara kandung bapak alias adik-adiknya. Mereka jahat. Ibu yang dulu
aku pikir jahat, dia selalu melindungi aku. Berusaha menghibur aku dan dua
saudara kandung aku. Aku tahu, ibu sering konflik dengan adik-adik bapak dan
bahkan ibu mertuanya. Aku tidak mengingat dengan jelas. Tidak perlu aku
ceritakan lebih jelas mengenai bully itu.
Saat di Surabaya. Aku
punya prestasi dan jadi anak kesayangan guru. Setiap ada acara apa, selalu
diikutkan. Yang tadi awalnya aku tidak ikut, selalu saja aku diikut sertakan
kemudian. Ibu terlihat senang dan bangga. 3 tahun di Surabaya. Aku pindah lagi
ke Wonosobo dan kemudian kembali ke Jakarta. Kalian tahu, pindah kedua kota
hanya jeda sekitar 3 bulan dan aku kembali mendapat bully verbal di Jakarta. Aku hanya bebas selama 3 bulan. Bayangkan.
Aku mungkin tidak merasakan terlalu dalam. Ibu lah yang paling merasakan. Dia
selalu membela dan terus berusaha membuat aku tegar. Sekarang dari pihak
keluarga besar ibu ditambah teman sepermainan dan teman sekolah. Dan mungkin
tanpa sadar itu membuat aku menjadi semakin pendiam. Ibu sudah melakukan
berbagai cara agar aku bisa lebih berkomunikasi. Dengan menyuruh ke warung,
dikenalkan ke orang baru, dan lain sebagainya. Tetap saja aku seperti ini
hingga sekarang.
Aku ingat. Betapa
marahnya beliau ketika tahu aku dikeroyok teman SD dan kembali ke rumah dengan
bibir berdarah. Aku berusaha tidak berkata apa-apa. Hingga akhirnya dia dengan
beraninya melapor ke kepala sekolah. Dan aku ingat ketika aku menangis untuk
ibu ketika ibu aku dikata-katain pedagang warung karena berhutang saat aku
disuruh ke warung untuk hutang demi kebutuhan pokok yang saat itu susah
terbeli. Tapi ibu tetap tegar dan kuat ketika aku cerita itu dan malah berusaha
menguatkan diri aku.
Ya. Sosok ibu dimata
aku adalah seorang wanita yang kuat, berani, hebat, dan segala-galanya.
Meskipun dulu dia galak, tapi rasa sayangnya tetap terasa hingga sekarang.
Bahkan ketika beliau pikun. Yup, ibu aku sekarang pikun karena Stroke. Sudah 4
bulan. Mengingat nama sendiri dan berbicara saja sudah sulit. Apa lagi
mengingat aku dan yang lainnya. Aku tahu rasa sayang seorang ibu itu masih ada
ketika aku bangun tidur dan langsung memeluk beliau. Dan dia berkata “ayo
bangun..bangun...”. Seakan-akan dia ingat. Dan aku ingin menangis saat itu.
Karena ibu seperti kembali normal, meskipun hanya beberapa detik.
Aku rindu saat ibu
sehat dan bisa berjalan. Aku rindu ketika aku ngelawak ibu selalu tertawa. Aku
rindu ketika ibu bisa diajak diskusi. Aku rindu ketika ibu adalah orang yang
paling berusaha agar aku bisa melupakan “dia” dan segera move on. Sekarang aku hanya bisa melihat beliau tiduran saja. Belajar
berjalan dan berusaha berkomunikasi. Dan yah.. tugas aku sekarang adalah
menggantikan beliau menjadi “sosok orang tua”. Menggantikan popok, nyuapin
makan, cebokin..hahaha, dan kegiatan orang tua lain saat mereka baru punya
bayi.
Terakhir dari aku. Selama
orang tua masih sehat. Sayangi dan berusahalah untuk bahagiakan mereka. Atau
akan terlambat dan menyesal kemudian. Meskipun ibu aku masih ada, tapi beliau
tidak tahu atau tidak merasakan bahwa sedang berusaha dibahagiakan. Jadi kayak
ada yang kurang.
Mau sejahat apapun orang tua, mau sejelek apapun orang tua, mau seperti apapun orang tua. Mereka tetap orang tua. Tanpa mereka, kita tidak akan pernah mengirup yang namanya oksigen dan indahnya mencintai.
Pict source : Here
0 komentar: