Iri, mungkin ini seperti sifat alamiah manusia. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial karena itu manusia lebih sering meli...

Tidak Selamanya Rumput Tetangga Lebih Hijau seperti Kelihatannya



Iri, mungkin ini seperti sifat alamiah manusia. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial karena itu manusia lebih sering melihat kehidupan orang lain dari pada dirinya sendiri. Tidak percaya? Coba hitung berapa kali dan berapa lama kau berdiri di depan cermin? Tidak seharian kan, karena jika seharian kau mungkin sudah melewati batas narsis, butuh psikiater. (hehehe)

Karena Aku masih manusia normal dan juga makhluk sosial aku tentu saja pernah merasa iri pada kehidupan orang lain. Kehidupan salah satu temanku. Aku yang besar ditengah keluarga dengan saudara yang banyak, membuatku terbiasa untuk tidak merengek perhatian apalagi bermanja-manja.

Sedangkan temanku punya kehidupan yang 'menyenangkan' dalam pandanganku. Bagaimana tidak, dia sangat dimanja oleh kedua orang tuanya, diantar jemput bahkan hanya untuk sekedar keluar minum kopi bersama teman. Jika ada acara kumpul bersama, sang ibu dengan suka rela akan menawarkan cake buatannya untuk kami santap, ingat buatan ibunya bukan buatan temanku. Sedangkan aku selalu terbiasa pergi kesana-kemari sendirian, melakukan segala hal sendirian, aku terbiasa mandiri karena sejak SMA aku memang hidup berjauhan dari orang tua. Aku terbiasa hidup tanpa harus berharap perhatian orang lain.

Saat aku harus berpikir seratus kali jika ingin berhenti bekerja, aku harus berpikir bagaimana aku akan membiayai kehidupanku terutama buku-buku dan CD-CD drama korea, dan tidak akan bisa hidup tanpa itu. Sedangkan temanku hanya tinggal berkata, “Aku ingin berhenti kerja.” Lalu orang tuanya langsung mensubsidi uang jajan setiap bulannya.

Ayahku bukan tipe pria mudah memberi, bahkan untuk sebuah ponsel saja aku harus menabung untuk mendapatkannya. Alasannya sederhana, ponsel bukan barang yang aku butuhkan. Dia sudah menyediakan telpon rumah, aku boleh pakai sepuasnya.

Sedangkan temanku, saat dia butuh internet orang tuanya bukan memberi modem, mereka langsung memasang Wi-Fi di rumah mereka. Enak kan jadi dia? Bagaimana kehidupannya tidak terlihat menyilaukan untukku.

Lalu tiba-tiba temanku mengeluh, tidak tanggung-tanggung dia bahkan mengeluh di media sosial. Bagaimana orang tuanya mengaturnya, bagaimana dia tidak bisa memilih apa yang dia inginkan. Lalu aku mulai berpikir, saat dia lebih memilih dekat dengan orang lain, saat dia memilih untuk repot menyiapkan kado ultah untuk ibu yang lain dari pada ibunya sendiri. Akhirnya aku menyadarinya, kalau saat itu dia sedang kehausan, haus kasih sayang.

Ternyata Rumput tetangga tidak selamanya lebih hijau seperti kelihatannya

Aku saat itu bahkan iri padanya dan aku sering mengeluh akan hidupku. Aku memang terbiasa hidup mandiri, tapi aku bukan gadis yang memiliki kebebasan penuh. Saat aku sudah setua ini aku bahkan masih mempunyai jam malam. “Harus di rumah sebelum jam 9 malam.” Tidak boleh pergi berdua dengan laki-laki, tidak boleh bepergian sendirian. Terlalu banyak aturan dan meski hidup jauh dari ayah, aku masih mempunyai dua orang satpam yang mengawasi tiap gerakku. Melototi setiap teman laki-laki yang datang ke rumahku.

Aku mengeluh, aku cemberut apalagi saat melihat teman-temanku yang bebas pergi kemana pun, tanpa aturan tanpa larangan. Lalu seorang teman berkata “Kau beruntung, setidaknya mereka peduli padamu. Aku? Aku bahkan tidak pernah ditanya kemana dan dengan siapa aku pergi? Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka.”

Otak kecilku tersentil, aku malu. Saat aku iri pada kehidupan orang lain, ada orang lain lagi yang iri pada kehidupanku. Saat aku mengeluh ternyata ada orang lain yang ingin seperti diriku. Dan pada kenyataannya hidup memang selalu seperti itu.

Kita seolah memang dibentuk untuk lebih sering melihat kehidupan orang lain, bahkan sejak dari kita kecil. Sebagai contoh, seberapa sering ibu kita berteriak atau mengomel saat kita bertengkar dengan saudara kita. “Kenapa kalian selalu bertengkar? Kapan akurnya? Kayak di rumah ini saja yang anak-anaknya bertengkar. Coba liat anak tetangga, mereka akur nggak pernah bertengkar. Contoh tuh mereka.” Seolah membandingkan kehidupan orang lain itu menjadi standar tersendiri. Menjadikan hidup orang lain sebagai contoh. Tidak ada yang salah memang, tapi akan terlihat lucu kalau ternyata saat main ke rumah tetangga justru ibu tetangga malah bertanya, “Kau pasti akur kan dengan adikmu, kan? Tidak bertengkar terus kayak anak-anak di rumah ini.” Aku hanya bisa tersenyum kecut, bahkan kata-kata itu nyaris sama.

Aku memang selalu diawasi, selalu diikat dengan berbagai peraturan. Tapi itu adalah bentuk cinta mereka padaku, aku terlalu berharga untuk mereka lepas ke sembarangan orang. Ayahku memang bukan pria murah hati dengan berbagai fasilitas lengkapnya. Tapi ayahku tidak pernah absen untuk memenuhi kebutuhanku, meski bukan merek-merek mahal, tapi kebutuhanku terpenuhi. Tidak semua memang kebutuhanku terpenuhi, dan disana lah aku “dipaksa” belajar untuk memilih apa yang benar-benar aku butuhkan, mana yang hanya sekedar nafsu mataku saja. Pada akhirnya aku sadar bahwa orang tuaku mencintaiku dengan caranya sendiri. 

Jangan pernah membandingkan dirimu dengan orang lain, bandingkan dirimu dengan diri sendiri yang dulu.

Seperti yang ayahku katakan, “Jangan pernah membandingkan dirimu dengan orang lain, bandingkan dirimu dengan diri sendiri yang dulu. Apakah dirimu lebih baik atau lebih buruk?”

Aku belajar, bahwa aku tidak akan bisa membandingkan kehidupanku dengan orang lain. Karena itu tidak akan ada habisnya, karena pada dasarnya manusia tidak akan pernah puas. Di atas langit masih ada langit. Dan belum tentu kehidupan orang lain lebih baik dari kita dan belum tentu kehidupan orang lain cocok dengan diri kita. Bersyukur dengan apa yang kita punya dan selalu berpikir positif adalah kunci untuk tidak selalu iri melihat rumput tetangga yang lebih hijau. Karena terkadang Rumput tetangga tidak selamanya lebih hijau.



Author : Kiko Hanum
Pict Source : Here

0 komentar: