Bicara tentang keluarga, tak bisa kita
pisahkan dari silsilah keluarga besar. Terkadang sangat membingungkan ketika
menyadari bahwa paman atau bibi kita ternyata usianya tak jauh dari kita. Satu
dan lain hal juga membuat para perempuan muda terpaksa menjadi nenek sementara
anak laki-laki kecil yang belum dikhitan sudah dinyatakan sebagai paman.
Begitu pun di keluarga saya. Seperti halnya
orang Indonesia pada umumnya yang lahir sebelum masa kemerdekaan, nenek saya
memiliki 6 orang anak. Satu yang tertua meninggal karena sakit di masa kecil.
Jarak kelima anak nenek saya bisa dibilang lumayan jauh. Maka itu cucu pertama
nenek lahir ketika kedua anak termudanya masih sekolah SMA. Saya adalah cucu
kedua yang lahir setahun setelah cucu pertama. Waktu saya kecil semuanya normal
di mata saya. Setidaknya saya punya dua orang om yang masih muda, ganteng dan
keren. Mereka muda namun sudah dewasa, bukan lagi remaja atau anak sekolah.
Kakak sepupu saya adalah teman bermain yang asyik karena umur kami terpaut
hanya satu tahun.
Seiring berjalannya waktu, anak pertama
nenek saya memiliki dua orang anak perempuan lagi yang jaraknya sangat jauh
dari sepupu pertama saya. Om saya menikah dengan perempuan-perempuan yang
umurnya jauh di bawah mereka, bisa dibilang tak terlalu jauh dari saya. Dan
voila… Di tahun 2017 ini silsilah keluarga saya agak membingungkan jika dilihat
dari umur masing-masing personilnya. Saya menikah di umur yang masih muda,
yaitu 25 tahun. Tak lama menikah, saya hamil. Ketika umur saya 26 tahun, anak
saya lahir. Kakak sepupu saya menikah ketika anak saya berusia 2 tahun. Jadi
saya bukan cucu pertama nenek tapi anak saya adalah cicit pertamanya.
Tahun 2014 anak saya lahir, tahun 2015
salah satu tante saya melahirkan anak bungsunya, yang mana itu adalah sepupu
saya. Yup, bayi mungil itu terlahir dalam kondisi sudah jadi tante-tante. Tante
bagi anak saya. Setahun kemudian, tahun 2016, tante saya yang satunya
melahirkan anak bungsunya. Maka sama seperti sepupu saya sebelumnya, ia juga terlahir
sudah jadi tante-tante.
Panggilan di keluarga saya dianggap tak
terlalu sakral. Beberapa tante saya, saya panggil mbak (termasuk tante dari
keluarga jauh). Alasannya karena saya merasa aneh jika memanggil tante atau
bulik, mereka terlalu muda untuk jadi tante. Begitu yang saya rasa. Kemudian
saya juga memanggil pakdhe atau budhe pada beberapa orang yang seharusnya saya
panggil mbah.
Kini, kedua tante saya yang anaknya lebih
muda daripada anak saya pun, tidak dipanggil mbah atau nenek oleh anak saya.
Satu tante saya dipanggil Mama Ipa dan satu lagi tante saya yang lain
dipanggilnya tante. Bagaimana bisa anak saya memanggil tante pada orang yang
saya panggil tante? Ah bisa saja, seperti saya memanggil kakek saya dengan
sebutan bapak, sama dengan bagaimana ibu saya memanggil beliau.
Kemudian dua sepupu saya yang masih balita
itupun tidak dipanggil tante oleh anak saya, mereka hanya dipanggil nama saja
seakan teman seumuran. Hal yang mungkin akan diprotes anggota keluarga lain.
Bahkan di keluarga suami saya pun masih sakral dengan memanggil anggota
keluarga yang lain sesuai silsilahnya.
Yang rasanya menggelikan adalah ketika saya
harus jadi seakan lebih tua dari yang seharusnya. Bagaimana bisa? Karena anak
saya sering terdengar memanggil ayah dan ibunya di depan sepupu saya yang
balita, maka sepupu saya ini memanggil saya mama dan memanggil suami saya ayah.
Hancurlah hati saya, saya kan kakaknya, bukan tantenya apalagi neneknya. Kenapa
saya jadi dipanggil mama? Ya sudahlah, mungkin ini yang dimaksud pencetus
peribahasa “apalah arti sebuah nama”, sementara tante-tante saya nampak semuda
itu, saya nampak setua ini karena dimamakan oleh sepupu saya sendiri.
Author : Aicha
Pict Source : Here
0 komentar: