Semua yang akan kuceritakan ini aku alami beberapa bulan yang lalu.
Aku hampir saja dikhitbah oleh seseorang yang sudah dekat denganku hingga kami
sudah berencana untuk melakukan pertemuan dua keluarga. Aku sudah bertanya pada ibuku perihal keseriusan
laki-laki itu untuk mengkhitbahku, dan ibu sudah bilang setuju. Aku
menyampaikan ini kepada laki-laki yang akan mengkhitbahku, bahwa ibuku sudah
setuju untuk bertemu dulu dan membicarakan tentang niat baik laki-laki itu.
Saat itu ibu juga bilang padaku kalau bapak pasti akan setuju juga
dengan keputusanku untuk menerima niat baik laki-laki yang akan mengkhitbahku.
Waktu aku menceritakan ini dengan ibu, bapak sedang merantau di luar kota. Dan
ketika bapak pulang ke rumah dan aku menceritakan tentang laki-laki yang akan
mengkhitbahku, bapak marah dan menolak. Bapak tidak memberikan alasan apapun tentang
penolakan itu, beliau cuma bilang belum siap menerima siapapun sebagai menantu.
Aku merasa sedih tapi aku tetap bersyukur dan berusaha menenangkan diri sendiri.
Sejujurnya aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi waktu itu, sampai
dengan cerobohnya hampir saja dikhitbah dengan seseorang yang bahkan tidak pernah
aku sukai. Aku tidak yakin kalau aku benar-benar mempunyai perasaan padanya.
Rasanya semua itu mengalir begitu saja. Mungkin ini cuma keputusan yang tanpa
pikir panjang. Aku merenungkan ini. Beberapa waktu lalu aku memang sangat tertekan
karena skripsiku, mungkin ini yang membuatku kehilangan arah dan memutuskan
dengan gampang siapapun yang baik padaku saat itu, dialah yang terbaik untukku.
Itu keputusan yang hanya mengandalkan emosi, tanpa akal. Padahal setelah aku
merasa tenang, aku sadar sudah memendam perasaan yang dalam untuk satu orang saja,
seseorang yang sedang berada di kota lain, dan yang kutahu orang itu pun punya
perasaan yang sama denganku.
Dan kini aku sudah berjarak dengan laki-laki yang pernah berniat
mengkhitbahku dulu. Aku sudah tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Setelah
saat itu, ternyata aku ditunjukkan kebenarannya kalau laki-laki itu memang
bukan yang terbaik untukku.
Entah apa yang dirasakan bapak waktu itu sampai beliau punya insting
laki-laki itu bukanlah yang terbaik untukku. Aku bersyukur saat itu karena
bapak tidak merestuiku dengan orang yang salah.
Aku memang tidak punya banyak waktu bersama bapak, tapi aku selalu yakin bahwa ia tahu apa yang terbaik untukku. Aku juga percaya segala sesuatu yang terjadi pasti ada maksudnya, dan apapun yang aku lakukan aku sadar butuh restu kedua orangtua didalamnya.
Author : Riri
Pict Source : Here
0 komentar: