Sekurangnya tiga bulan sudah aku menyimpan rapat-rapat tentang ini. Hanya saja, di depan oranglain aku berusaha untuk tetap ters...

Pelajaran tentang Bertahan.






Sekurangnya tiga bulan sudah aku menyimpan rapat-rapat tentang ini. Hanya saja, di depan oranglain aku berusaha untuk tetap tersenyum dan mengenyampingkan sakit ini.  Ada sakit dan lelah yang tidak bisa kuceritakan kepada seseorang yang bersangkutan. Apa yang kurasakan ini tentang kejenuhan, betapa jenuhnya aku menghadapi pekerjaan. Rasanya ada yang salah, entah beban yang semakin bertambah atau memang aku sedang jengah-jengahnya. Rasanya ingin berhenti, ingin  sekali menyudahi pekerjaan ini. Rasanya sesak sekali sampai aku sudah berpikir untuk tidak pernah datang lagi. Lelah ini sudah tidak bisa kutangani.

Sebagai karyawan biasa dan manusia biasa tentunya, aku juga bisa merasakan kelelahan. Mengerjakan pekerjaan yang sama setiap hari, selama sebulan, lalu berulang lagi dan begitu seterusnya sampai entah kapan. Dan juga entah kenapa tubuh ini tidak pernah cukup diistirahatkan. Aku juga merasa hubungan komunikasi dengan atasan semakin pudar, tidak berjalan baik. Sedikit salah, banyak perdebatan. Hal-hal sepele yang kadang dibesar-besarkan, perhitungan gaji yang mengenaskan, semua itu membuatku muak. Berkali-kali aku menangis banyak karena ini, kutanggung depresi ini sendiri.

Dua malam yang lalu kutumpahkan semua keluh kesahku pada ibu. Kuceritakan padanya betapa lelahnya aku. Aku menangis di hadapannya. Ibuku yang bahkan tidak tamat sekolah dasar itu hanya menyarankan agar aku lebih bersabar. Katanya melanjutkan, kalau aku sudah tidak sanggup lagi pergi saja dari tempat kerjaku sekarang. Ibu bilang aku butuh istirahat. Dalam situasi sekalut itu, dan saran dari ibu, aku sudah memantapkan diri untuk berhenti bekerja dari tempatku sekarang. Itu keputusanku.

Pagi harinya aku tetap berusaha untuk tegar melalui sisa-sisa hari kerjaku. Aku merasa sebentar lagi aku tidak akan apa-apa. Tapi pikiran positifku seketika buyar melihat ekspresi ibu. Ibu kelihatan muram, banyak berpikir, melamun. Aku tidak berani bertanya langsung kenapa ibu begitu, tapi kepalaku berpikir keras mencari tahu penyebabnya. Kemudian aku sadar sesuatu, tapi tidak aku ungkapkan bahkan sampai aku minta berpamitan.

Aku memikirkannya sepanjang jalan. Aku melamunkannya di atas motor yang sedang kukendarai. Aku tahu kenapa ibu semurung itu. Ibu memikirkan aku. Aku tahu ibu tidak pernah tenang setiap kali melihatku tidak bekerja. Ibu tidak suka melihatku tidak melakukan apa-apa. Ibu tidak ingin aku menganggur. Aku putus asa sudah. Tidak ada lagi yang bisa kupercaya. Aku hanya punya ibu, seharusnya ibu mengerti bagaimana aku. Aku tidak punya dukungan. Aku putus asa sendirian. Sudah sejak lama aku tidak memercayai siapa-siapa, dan sepertinya akan bertambah semakin lama setiap kali masalah datang. Dan inilah yang terjadi. Aku sendirian. Lagi.

Aku merenungkan ini sendiri. Terbangun di tengah malam berhari-hari, berpikir sendiri apa yang 
seharusnya aku lakukan. Aku bukan anak kecil lagi, diusiaku yang sudah 22 tahun ini seharusnya aku lebih bisa berpikir jernih. Seharusnya aku sudah bisa membuat keputusan yang lebih bijak. Aku harus selalu ingat bahwa sejak dua tahun lalu, aku-lah yang mengemban sebagian tanggung jawab almarhum bapak untuk memberikan ibu nafkah. Lalu kalau aku berhenti berkerja, bagaimana ibu? Aku tidak ingin membuatnya sedih. Ia tidak pernah mengatakan ini tapi aku selalu sadar diri bahwa mencari pekerjaan sekarang tidaklah mudah. Mungkin 'berhenti' dari pekerjaan yang sekarang bisa membuatku tenang sebentar, tapi bagaimana kalau masalah yang sama terjadi lagi di masa depan? Kalau aku terus berlari, aku tidak akan pernah tahu caranya menghadapi.

Aku tahu ini sangat sesak sekaligus menyakitkan. Aku bukannya tidak punya pilihan, aku hanya memutuskan untuk memilih bertahan. 

Aku harus belajar untuk bertahan. Kalau bukan untukku, setidaknya untuk orang yang kusayangi. Pun jika aku berakhir juga pada akhirnya, itu pasti sudah campur tangan Tuhan.

Author : Ann
Pict Source :  Here



0 komentar: