Ini adalah ceritaku yang tidak pernah kuceritakan kepada
orang lain, sekalipun ia teman dekatku, bukan karna aku malu atau menutupi hanya
saja aku tak ingin mereka tahu atau bahkan sampai merasakan. Ini adalah tentang
ayahku.
Ya, ayahku yang
sangat penyabar, begitu lembut, begitu
tegas, bijaksana, tegar, kuat, dan ikhlas. Ayahku banyak dihormati oleh orang
karena beliau memang dipandang sebagai tokoh masyarakat. Tapi terkadang semua
hanyalah topeng yang menutupi keasliannya, mereka hanya terlihat baik didepan.
Kadang tak jarang pula aku mendengarkan sendiri perkataan-perkataan tidak enak
tentang ayahku. Ketika aku mendengar semuanya dan mengadukan kepada ayahku
perihal perlakuan mereka dibelakang ayah, ayah hanya mengatakan, "Biarkan
mereka bicara sesukanya. Mereka tak tahu bagaimana seseorang, diamlah dan
jangan balas apapun.” Bagaimana tak terluka hati seorang anak ketika mendengar
perkataan tak mengenakkan dihadapannya tentang ayahnya sendiri. Namun ayahku
sudah terbiasa tentang itu.
Pernah terjadi ketika aku masih kecil, ketika aku belum
mengetahui apa-apa dan setelah aku beranjak besar aku baru mengetahui dan
mencerna semuanya. Waktu itu ayahku dipanggil seseorang untuk mengobati
istrinya (ayahku memang sering dimintai pertolongan oleh orang sebagai
perantara pengobatan, dengan cara-cara islami. Oh bukan, ayahku tak menyembuhkan,
dia hanya perantara dan selebihnya Allah-lah yang berkehendak), ketika ayahku
sedang melakukan pengobatan tiba-tiba si ibu berteriak, dan dikira suaminya ayahku
telah melakukan pelecahan dan saat itulah fitnah-fitnah mulai bertaburan
disekeliling keluargaku. Ayahku sudah bersumpah beliau tak melakukan hal itu,
hanya saja waktu itu memang ada bagian tubuh yang beliau tekan sebagai titik
permasalahan penyakit yang membuat istri paman itu menjerit kesakitan dan
ayahku memang tak pernah melakukan zina. Tapi semua tak ingin tahu, semua orang
menghakimi sampai ayahku tidak diperbolehkan untuk azan di masjid lagi, itu
dianggap memalukan oleh semua pihak pengelola masjid. Ibuku yang tetap sabar
dan setia menemani ayahku ketika semua fitnah tersebar luas. Ibuku tetap ikhlas,
ibu hanya percaya ayah dan tetap percaya sampai ayah bilang "Doakan saja
mereka Bu, semoga mereka dijauhkan dari perihal-perihal seperti ini, dari
sesuatu yang keji. Sesuatu yang disebut fitnah.” Bulan terus berganti dan waktu terus berputar sampai
akhirnya kebenaran ada. Kebenaran memang selalu berpihak pada mereka yang
benar. Ayahku yang memang tak terbukti bersalahpun akhirnya merasa lega dan
semua orang yang telah memfitnah ayah justru berbalik pada mereka, merekalah yang
justru berbalik melalukan perzinaan. Kata ayah, "Itu bukan karma. Islam tidak
mengenal karma, hanya saja apa yang mereka perbuat maka itulah apa yang akan
mereka dapatkan.”
Itulah ayahku yang berhati baja namun tetap lembut,
ayahku yang pemaaf dan tak pendendam, ayah yang berulang kali mendapatkan
cacian, fitnah dan pernyataan lainnya yang membuat pedih seperti debu dipelupuk
mata. Ayah adalah sosok dimana semua pelajaran aku dapat darinya. Hingga
kekuatan tak terbataspun, ayah adalah 7 samudera ketegaran yang Allah hadiahkan
untukku. Ayah, dia yang rela menahan sakitnya diatas kebahagiaan anak-anaknya.
Dan ibu adalah pelengkap dari semua yang ayah berikan. Juga ibu adalah penguat
ayah, yang dijadikan anaknya sebagai penguatnya. Ayah dan ibu, mereka tidak akan
meminta banyak dari kita, mereka hanya meminta kita untuk tersenyum bagi mereka.
Setetes air mata kita adalah segores luka untuk mereka, mereka tak akan meminta
banyak dari kita. Mereka hanya meminta kita untuk tidak meninggalkan mereka
setelah kita beranjak dewasa dan mereka bertambah tua. Mereka tidak ingin kita
tinggalkan ketika renta.
Ayah dan ibu tidak meminta banyak pada kita, mereka hanya meminta kita tidak meninggalkan mereka
setelah kita beranjak dewasa dan mereka bertambah tua. Mereka tidak ingin kita
tinggalkan ketika renta.
Allah memberiku dua malaikat tak bersayap yang nyata.
Author : Addin
Pict Source : here
0 komentar: