Dari catatan diary 10 tahun
yang lalu, yang tidak sengaja ketemu saat bongkar lemari…
Suatu siang terik di hari Sabtu, dadaku terasa
sesak, langkahku terasa berat ketika memasuki busway. Saat itu aku baru saja
pulang kerja dari daerah Salemba, usiaku baru menginjak 20 tahun. Entah karena
cuacanya yang panas, efek lapar atau beban kerjaan. Aku merasa hidupku saat itu
sangat berat. Teman-temanku di usia yang sama, sudah memasuki perguruan tinggi
terbaik, sementara aku masih mencari biaya dari bekerja yang gajinya belum
seberapa. Aku merasa masa depanku gelap, tiada harapan, buntu.
Aku turun di halte Matraman untuk transit.
Makin berat saja rasanya melangkah karena jembatannya yang panjang dan menanjak.
Aku kembali menaiki busway jurusan Pulogadung. Keadaannya waktu itu sangat
ramai, jadi aku terpaksa berdiri di belakang seraya menyandarkan keningku di
kaca busway seperti cicak. Saat itulah aku melihat pemandangan tersebut.
Dibawah kolong jembatan Matraman, aku melihat
seorang bapak-bapak dengan kotak pulpen yang banyak. Putri kecilnya tidur tak
jauh dari sisinya. Si bapak tampak sedang mencoba setiap pulpen satu-satu di
kardusnya, untuk memastikan pulpennya nyata dan tidak macet. Entah kenapa aku
terenyuh dengan pemandangan itu.
Bapak itu bisa saja mengemis, namun dia tidak
melakukannya. Dia menjajakan pulpen di lampu merah Matraman kepada pengendara
mobil atau motor yang lewat, yang lebih banyak tidak menghiraukannya. Bapak itu
bisa saja tidak peduli dengan kualitas pulpennya dan tetap menjual, toh, jarang
juga yang beli tampaknya. Namun sebaliknya, si Bapak tersebut masih memastikan
pulpennya berfungsi sebelum dijual. Tenggorokanku tercekat menahan tangis,
bahkan dalam segala keterbatasannya dengan putri kecil tertidur nyenyak di
trotoar, dia masih melakukan yang terbaik.
Tiba-tiba saja aku merasa membenci
kecengenganku sendiri. Aku yang selalu mengeluh sementara diluar sana banyak
orang menanggung beban lebih berat. Sayang buswayku sudah keburu jalan,
menyesal rasanya karena tidak keluar dan membeli pulpennya. Saat itu aku hanya
bisa berdoa, semoga pulpen si Bapak laris.
Ketika sampai di Pulogadung, aku mampu
melangkah dengan kelegaan dan rasa syukur di dalam hati.
Sejak saat itu, setiap kali aku merasa putus asa, aku melihat pada pulpenku sendiri, teringat akan si Bapak penjual pulpen. Biasanya jika sudah begitu aku akan menguatkan diri dan kembali bekerja lagi.
Aku pun menutup diary ku yang lama, yang
kutulis 10 tahun yang lalu saat hal itu terjadi, sambil berdoa semoga kehidupan
si Bapak penjual pulpen dan putrinya menjadi lebih baik sekarang. Aku tersenyum
penuh kemenangan karena berhasil melalui lembaran-lembaran sulit hidupku
dahulu.
Seberapa pun kecilnya kita di dunia ini,
seberapa pun sesaknya himpitan beban hidup, perasaan buntu dan tidak ada harapan,
tetaplah lakukan yang terbaik. Tuhan tidak buta akan usaha dan kesabaran
manusia. Aku pun akhirnya telah membuktikannya sendiri 10 tahun kemudian. Belum
sukses, belum. Tapi pastinya jauh lebih baik. Andaikan saat ini aku bertemu
diriku yang dulu, aku pun pasti akan mengatakan padanya untuk sabar dan tetap
berusaha, dengan sendirinya jalan akan tercipta.
Pict Source : Here
0 komentar: