Tepat 7 bulan 28 hari sebelum hari pernikahan yang sudah kami tentukan, aku tidak mengira bahwa kecupan lembut bibirnya yang mendarat ...

1 Dekade untuk Belajar Mencintai dan Melepaskan



Tepat 7 bulan 28 hari sebelum hari pernikahan yang sudah kami tentukan, aku tidak mengira bahwa kecupan lembut bibirnya yang mendarat di pipiku adalah kecupan terakhir, kecupan perpisahan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Kecupan pamitnya untuk pulang dari rumahku setelah mengantarku, ternyata sekaligus ucapan tanpa aksara yang merupakan pamitnya ia dari hidupku.

Satu Dekade, 10 tahun, lebih dari 100 purnama, melewati 500 minggu, bukan waktu yang singkat untuk setiap orang menjalani suatu hubungan. Hubungan yang kami bina sejak masa kuliah, suka-duka, putus-sambung, canda tawa-tangis, sudah kami lewati bersama. Perjalanan cinta yang kami lalui bukan mulus-mulus saja, mulai dari penolakan dari kedua belah pihak keluarga sampai perselingkuhan. Bodoh? Mungkin itu kata yang akan sering muncul di benak pikiran setiap orang yang mengikuti kisah kami. Setiap permintaan maaf darinya selalu berujung dengan pemberian maaf dariku dan akhirnya kami bersama kembali.

Satu keyakinan di hatiku bahwa ia orang baik, yang akhirnya membuat kami memutuskan untuk bicara pada keluarga, bahwa kami mau hubungan ini lebih serius ke jenjang pernikahan. Hingga di penghujung tahun 2015 orangtuanya datang kerumah untuk 'ngobrol' dengan ibuku, diputuskan lah kami akan menikah pertengahan 2016. Senang? Kami sumringah, walaupun setelah hari itu seperti ada yang disembunyikan oleh sepasang mata yang ku tatap hampir setiap hari tersebut.

Suatu kejujuran darinya yang akhirnya membuatku ragu dan memutuskan untuk break sejenak dari hubungan kami, berbagai mediasi kami lalui, keluarga bahkan bantuan professional, 3 bulan memikirkan matang-matang dan meyakinkan diri sambil berdoa semoga keputusan ini yang terbaik, akhirnya kami memutuskan bersama kembali dengan catatan ditunda beberapa bulan pernikahannya.

Semenjak itu, kami lalui hari-hari kami dengan membicarakan persiapan pernikahan, orangtua kami jelas senang mendengar kabar kami yang akhirnya memutuskan untuk tetap bersama. Survey segala macam gedung dan vendor, membicarakan konsep pernikahan, sampai mengunjungi pusat pertokoan emas untuk memilih wedding ring. Hal yang membahagiakan bagiku, tersenyum tersipu sampai merekah, menjadi bridezilla? Sudah pasti! Hahahhaaha…. Bagaimana tidak menjadi stress karena waktu yang terus berlalu tetapi banyak hal yang harus kami persiapkan.

Suatu hari saat kami pulang dari kantor dan mengobrol santai.

Dia: Aku percaya, setiap orang ketemu dan kenal sama orang lain itu ada 2 pilihan pada akhirnya, untuk belajar tentang kehidupan bersama atau untuk hidup bersama.

Aku: Kita?

Dia: Insha Allah untuk hidup bersama.

Aku: Aamiin, sweet banget!


Kemudian kami tertawa bersama.

Setiap orang ketemu dan kenal sama orang lain itu ada 2 pilihan pada akhirnya, untuk belajar tentang kehidupan bersama atau untuk hidup bersama.

Idul Fitri 2016, saat keluarganya silaturahmi ke rumahku, orangtuanya menegaskan kembali bahwa pernikahan akan diselenggarakan, aku dan dia memutuskan untuk menikah di pertengahan tahun 2017 sebelum Idul Fitri. Agustus 2016 merupakan bulan yang membuatku berbunga-bunga, sikapnya yang begitu manis, dia pun menegaskan kepada ayahnya dan ayahku bahwa kami mantap akan menikah. Agustus pula ia berulang tahun, cake dengan hiasan penuh bunga aku buatkan special untuknya, untuk dia yang special dihati dan hariku. Untuk dia yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga dari hari ke hari. Dia, Supernova di hidupku, bagiku dia merupakan terang, tempatku menumpahkan segala rasa.

Beberapa hari setelah melewati bulan Agustus, berhari-hari tidak ada kabar darinya, aku hubungi dia, tetapi tak satupun pesan maupun teleponku dijawab, hingga suatu hari aku menghubunginya dengan penuh rasa kesal.

Aku: kamu kemana saja? Maksud kamu apa?

Dia: Aku takut sama kamu.

Aku: Takut kenapa? Aku bikin takut kamu apaan?

Dia: Ga tau, ga ada.


Kami bertengkar. Ya sudah pasti segala emosi kami terluapkan.

Seminggu kemudian kami bertemu.

Dia: Aku sempat kepikiran, semua pencapaian kita, dari kamu cuma mahasiswi sampai akhirnya kamu punya karir, aku yang selalu ada disamping kamu, susah senang. Masa iya sih aku yang memupuk kamu, pada akhirnya kamu nanti sama orang lain.

Aku: Maksud kamu? Ya kan kita sudah lewati susah senang bareng-bareng, kan kita sudah mutusin buat nikah.

Dia: Aku S2 kamu nungguin, sampe aku dapat kerjaan tetap kamu tetap sabar nunggu, aku ngomong gini bukannya aku mau putus sama kamu, tapi aku bingung, aku sekarang ga tau mau apa.

Aku: *menitikkan air mata, hal yang aku takutkan kembali lagi*

Berminggu-minggu, mediasi keluarga sudah tidak mempan, aku terpuruk, aku merasa bersalah, sampai suatu hari aku mendengar bahwa hatinya telah berlabuh pada perempuan lain. Hal yang selalu aku takutkan, kebiasaan lamanya yang kembali. Awalnya aku anggap itu cuma keraguan hatinya, sindrom menikah! Akan tetapi kenyataannya sang perempuan dan keluarganya datang ke rumahnya untuk meminta kejelasan darinya, walaupun keluarganya tidak setuju dengan hubungannya bersama perempuan tersebut, tetapi hatinya mungkin sudah tidak bisa kembali padaku.

Aku datang padanya untuk bicara 4 mata, dari hati ke hati.

Dia: Ngapain kamu kesini? Hidupku sudah tenang 2 bulan ini ga ada kamu, sekarang kamu datang tiba-tiba didepan pintu kamar aku, rasanya kayak kebahagiaan aku tuh hilang lagi.

Aku: aku mau ngobrol baik-baik mas.

Kami mengobrol dengan tak baik-baik juga pada akhirnya, karena segala emosinya terluapkan. Baginya aku tidak baik, baginya aku tidak sabar, segala kritik darinya aku terima. Aku mau berubah untuk kebaikan kami, pembicaraan alot hampir seharian kami lalui, dan dia memberikanku kesempatan sampai akhir tahun untuk membuktikan bahwa aku memang benar-benar berubah menjadi lebih baik, dengan syarat sebelum akhir tahun dia yang akan memutuskan akan berlanjut atau tidak. Pada saat itu, aku terima walaupun terkesan aku diremehkan, tapi aku pun tetap waspada. Ternyata keputusannya untuk memberiku waktu pun hanya janji manis saja, ketika aku tahu bahwa malam setelah dia berbicara denganku, dia pergi dengan perempuan tersebut. Akhirnya aku mengerti bahwa saat itulah waktu yang tepat untuk tegas pada diriku, tidak perlu membuang waktu sampai akhir tahun ditangan orang lain untuk menjalani hidupku. Aku yakin bahwa hidupku bisa lebih baik walau tanpanya. Aku meminta maaf pada ibuku, menangis sampai tersedu-sedu, tangisanku yang terakhir atas hubunganku dengannya. Aku belajar merangkak dan berdiri kembali dengan topangan ibuku, ibu yang bibirnya selalu mengucap namaku disetiap doa-doa malamnya.

Aku, tidak pernah menitikan airmata lagi, aku lebih bahagia, aku lebih hidup, aku bersyukur.

Untuknya, semoga bahagia dan kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik dariku. Aku lepaskan dan bebaskan dirimu dari hatiku, kita ternyata hanya cukup belajar bersama tentang kehidupan, bukan untuk hidup bersama sampai tua dan maut memisahkan. Selamat tinggal 10 tahunku, pelajaran ini sungguh berharga buatku.

Aku lepaskan dan bebaskan dirimu dari hatiku, kita ternyata hanya cukup belajar bersama tentang kehidupan, bukan untuk hidup bersama.

Author : Sakura Stark
Pict Source : Here

2 komentar:

  1. Semoga selalu diberikan kesabaran, my beloved friend

    BalasHapus
  2. Ngga ada kata2 lain yg bisa gw sampaikan ke Lo selain sabar.
    Selama masih ada Allah dan keluarga, insyaallah lo pasti bisa melalui itu semua.
    Selalu semangat, sabar, tawakal, pasti Allah akan berikan jodoh yg palig baik bwt lo. Amiiiinn.

    Gw yakin lo pasti bisa, karena lo kuat!!

    BalasHapus