Jika saya ditanya tentang arti rumah dan keluarga pada saat saya berumur 22 tahun, mungkin inilah jawaban yang akan saya berikan: ...

My Bittersweet Family




Jika saya ditanya tentang arti rumah dan keluarga pada saat saya berumur 22 tahun, mungkin inilah jawaban yang akan saya berikan:
“Bagi saya, rumah adalah penjara. Keluarga tak lebih dari sekadar orang-orang yang hadirnya membebani saya.”

Nyatanya, masa muda saya dimulai ketika saya melangkah meninggalkan Ibu dan Bapak. Saya tak pernah menjadi anak muda yang dekat dengan orang tuanya. Bahkan, saya pernah diam-diam berkhayal seandainya saja saya tak perlu memiliki keluarga. Atau seandainya saja saya bisa mengajukan gugatan ke pengadilan untuk bercerai dengan keluarga saya sehingga saya menjadi manusia yang berdiri sendiri seutuhnya.
Ketika itu saya berpikir bahwa hubungan kekeluargaan bisa diibaratkan sebagai perjanjian utang-piutang yang dipaksakan. Saya, terpaksa berutang budi pada Bapak dan Ibu saya karena mereka telah membesarkan saya. Padahal, sejauh yang saya ingat, bukanlah pilihan saya untuk lahir ke dunia melalui perkawinan mereka berdua.
Bapak saya adalah seseorang dengan temperamen yang amat buruk. Tingkat kesabarannya bisa jadi lebih rendah ketimbang tingkat minat baca di Indonesia yang menduduki peringkat bontot dunia itu. Sudah sejak lama saya tidak menyukai Bapak. Jangankan membuka diri dan rahasia-rahasia saya kepada beliau, saya bahkan tak pernah berinisiatif untuk mengajaknya berbicara. Tak seperti anak-anak remaja lain yang bahkan berkonsultasi tentang kehidupan cinta monyet mereka pada bapaknya, hubungan saya dengan Bapak hanya sebatas perihal keuangan dan tanda tangan wali di dokumen-dokumen resmi.
Ibu saya adalah seorang perempuan yang terlampau sensitif dengan pikiran yang dipenuhi skenario-skenario buruk. Pesimisme yang Ibu demonstrasikan dalam kehidupan sehari-harinya ketika membesarkan saya, sukses mencetak saya menjadi remaja tanpa mimpi. Ibu secara tidak langsung mengajari saya bahwa orang seperti saya tidak pantas mengharapkan kejadian-kejadian besar dalam hidup. Ketika lulus SMA, saya tak pernah berharap bisa menjadi orang besar, yang perlu saya kejar adalah upah minimum untuk makan dan hidup seadanya. Hanya serendah itulah kemampuan saya menggantung cita-cita.
Maka ketika saya cukup berani untuk keluar dari rumah, saya memutuskan untuk memisahkan diri. Meski tentu ikatan keluarga itu tetap ada. Tapi setidaknya, saya tidak perlu terikat aturan ketat mengenai solat, pekerjaan rumah atau jam pulang. Ketika tinggal di kontrakan, saya punya kebebasan untuk menentukan banyak hal sendirian tanpa perlu dibatasi titah orang tua.
Saya mulai berkenalan dengan orang-orang baru. Orang-orang dengan latar belakang yang berbeda dari tempat saya berasal. Dari mereka saya mendapatkan cerita-cerita tentang berwarnanya dunia. Ibarat televisi, kehidupan saya yang awalnya monokrom seolah di-upgrade menjadi penuh warna. Yang awalnya cuma mampu menangkap satu saluran dengan jenis siaran yang monoton dan itu-itu saja, saya menjadi terhubung dengan parabola yang mampu menangkap banyak saluran dengan ragam cerita yang sedemikian kaya.
Seketika, saya jatuh cinta. Saya seolah Jasmine dan mereka adalah Aladdin. Mereka membebaskan saya dari penjara keterbatasan sudut pandang menuju sebuah dunia baru, a whole new world.
Saya mulai berani bermimpi dan berandai-andai. Saya melakukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah saya lakukan. Saya pergi ke tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah saya datangi. Saya menjadi manusia baru. Manusia yang lebih berani dan tak lagi membatasi diri.
Tanpa ragu, saya menjadikan mereka sebagai keluarga baru saya. Keluarga yang saya pilih dengan kehendak saya sendiri, bukan keluarga yang dipilihkan secara acak bagi saya oleh semesta. Hubungan saya dengan mereka adalah hubungan timbal balik yang sadar. Bukan hubungan utang-mengutangi tanpa consent yang mengikat dan membebani.
Tentu saat itu saya berharap bahwa kisah kami bisa berakhir se-happily-ever-after kisah-kisah dongeng Disney. Tapi rupanya kenyataan tidak berjalan dengan cara seperti itu. Kehidupan tidak berjalan seperti itu.
Orang-orang itu, yang pada suatu titik pernah membuat saya merasa senang karena telah pergi meninggalkan rumah dan keluarga, pada akhirnya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mereka nyatanya pergi meninggalkan saya demi keluarga baru mereka sendiri. Demi istri dan suami, mereka meninggalkan saya yang ternyata tak lebih dari sekadar teman berpetualang. Saya tentu sedih dan patah hati. I was never their family.
Ditinggalkan sendirian, saya akhirnya merasakan sesuatu yang tak pernah saya rasakan sebelumnya: rindu pulang. Dengan canggung dan malu-malu bercampur sedikit gengsi, saya kembali ke rumah. Kepada keluarga yang kehadirannya pernah saya sesali itu.
Tanpa diduga, mereka menerima saya dengan tangan terbuka. Walau itu tak berarti bahwa keluarga saya telah berubah menjadi keluarga paling ideal di dunia dengan ayah yang sabar, mengayomi serta kharismatik, dan ibu yang sabar, lembut dan selalu punya cara untuk membuat kesulitan hidup menjadi perjalanan penuh makna. Mereka tetap orang tua saya yang dulu, yang tak sabaran dan penuh pikiran negatif.
Tapi, semakin lama saya hidup dengan mereka, saya mulai menemukan hal-hal baru yang selama ini luput dari perhatian saya.
Saya telah lama menjadikan buku sebagai pelarian bagi kepenatan-kepenatan saya. Membeli dan membaca buku telah menjadi terapi andalan saya untuk menghilangkan stres. Berhubung saya belum punya rak buku, maka puluhan buku koleksi saya pun bertumpuk-tumpuk begitu saja di sudut-sudut kamar.
Sampai suatu hari, ketika saya pulang kerja, saya menemukan sebuah rangka kayu di salah satu dinding kamar saya. Sebuah rak, rupanya. Berwarna biru, dibuat dari kayu bekas meja ping-pong yang sudah lama tidak dipakai. Desainnya sederhana tapi lumayan unik. Tidak seperti rak buku biasa. Bapak saya yang bikin. Ternyata di balik sikap kerasnya, diam-diam beliau memperhatikan kesenangan dan kebutuhan saya. Dari hasil pengamatannya itu dia membuatkan saya rak buku tanpa saya pernah meminta.
Ibu, tentu saja, tak mau kalah. Meski ia masih sering mengeluhkan banyak hal di dunia, saya tidak bisa tidak mensyukuri kesediaannya memijiti punggung saya setiap malam sepulang saya kerja. Baju-baju saya tidak secara ajaib mencuci dan menyetrika dirinya sendiri. Ibulah yang selalu melakukannya. Berkat kesediaannya melakukan hal-hal itu untuk saya, saya jadi punya tambahan waktu untuk menekuni hobi dan cita-cita saya: menulis.

Kini, sebagai seorang laki-laki berusia 27 tahun yang masih tinggal bersama orang tua, saya akan berkata bahwa keluarga adalah mekanise pertahanan pertama dan utama yang saya miliki dalam menjalani hidup.

Sebagai makhluk yang tidak bisa bertahan hidup sendiri, terbukti ketika lahir saya (sama seperti spesies manusia lainnya) tidak bisa mengurus diri saya sendiri hingga waktu yang lama, keluarga merupakan perangkat yang saat itu ada dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan saya untuk tetap hidup. Makan, perlindungan, tempat tinggal dan kasih sayang. Ini bukanlah sebuah hubungan utang-piutang, melainkan bentuk interaksi saling membutuhkan yang paling tulus dan jujur. Saya membutuhkan mereka ketika saya kanak-kanak dan mereka akan membutuhkan saya ketika mereka beranjak tua. Maka sudah sewajarnya kami hadir bagi satu sama lain. Dan yang ajaib dari sebuah keluarga, semua itu dilakukan tanpa proses hitung-menghitung.

Keluarga saya bukan keluarga sempurna. Bapak, Ibu, juga saya sendiri, adalah orang-orang yang memiliki banyak kekurangan dan sifat buruk. Tapi justru untuk alasan itulah, manusia membentuk keluarga. Tidak ada manusia yang cukup baik untuk bisa menghadapi dunia sendirian. Keluarga adalah bentuk kerjasama paling awal yang dibentuk sebagai ikhtiar pertahanan hidup manusia. Keluarga tak lain adalah sebuah unit koloni mini tempat manusia saling melengkapi dan melindungi. Tujuannya satu: memaksimalkan potensi kehidupan manusiawi.
Di antara pertengkaran-pertengkaran dan perselisihan paham yang masih sering muncul di antara saya, Bapak dan Ibu, tak ada hal lain yang pantas saya lakukan terhadap kehadiran keluarga ini kecuali mensyukurinya.

Saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ketika teman datang dan pergi, keluargalah yang selalu ada menunggu saya pulang.


Author : Han Namja
Pict Source : Here


0 komentar: