Keluarga. Sebuah wadah pemersatu garis
darah. Tempat dimana kita merasakan kenyamanan dan pertengkaran. Bagian yang
sering mengenai diriku adalah pertengkaran. Wajarlah usiaku masih muda enam
belas tahun jika masih suka bertengkar dengan adik-adikku yang berbeda empat
dan tujuh tahun denganku.
Mulai dari mengejek, kesal, mencubit,
mengejar, dan semua yang berakhir dengan pertengkaran. Namun semuanya juga
harus berakhir dengan perdamaian dari semua pihak pada hari itu juga. Dan
keesokan harinya mungkin saja aku mengulanginya lagi.
Tidak hanya dengan saudaraku. Aku juga
sering berdebat kecil dengan kedua orang tuaku. Termasuk masalahku yang
beberapa hari ini terus mereka bahas. Mengenai keaktifanku dalam berorganisasi
dan mengikuti ekstrakulikuler. Dan hal itu diperparah dengan kondisi tubuhku
yang tidak bisa aku ajak kerja sama. Serta penyakit lamaku yang terus saja
kambuh dan sebisa mungkin aku tidak menunjukkan kesakitannya di depan kedua
orang tuaku yang menurutku sangat melebih-lebihkan sesuatu.
Ketika itu aku pulang sekitar jam lima
sore. Aku langsung masuk kamar untuk mengistirahatkan tubuhku sebentar karena
perjalanan dari sekolah ke rumah lumayan jauh. Ditambah pikiran mengenai
sekolah dan ekstrakulikuler yang aku ikuti.
Malamnya ibuku menghampiriku yang sedang
fokus mengerjakan pekerjaan rumah yang baru bisa aku kerjakan saat esok hendak
dikumpulkan. Ia duduk di pinggir kasurku dan berkata, “Sekarang jujur, apa yang
kamu lakukan kemarin hingga kamu pulang nyaris isya,” aku berhenti menulis
namun tidak menoleh padanya.
Sebenarnya aku ingin mengatakan jika aku
sebenanrnya ada acara tambahan yang menyakitkan (yang ditempatku bilang uji
mental), ya sudah aku katakkan saja jika aku latihan untuk lomba dan
mempersiapkan semuanya dan itu juga aku lakukan jadi aku tidak berbohong hanya
sedikit merahasiakan.
Ibuku menghela napas, terdengar lelah
dan seolah tidak mempercayai ucapanku. “Berikan nomor temanmu biar ibu yang
bicara padanya kalau kamu tidak bisa mengikuti semua kegiatan melebihi pukul
setengah lima sore.”
Aku terdiam tak berani menjawab.
“Berikan nomornya nanti pada ibu,” Ibuku berjalan keluar dari kamarku. Aku
menghela napas lelah. Aku menyandarkan punggungku, mengabaikan tugasku karena moodku untuk mengerjakannya sudah
hilang.
Masalah ini sering terjadi, terlalu
sering. Disatu sisi aku mempunyai tanggungjawab dalam ektrakulikuler dan disatu
sisi ada keluargaku yang mengkhawatirkan kesehatanku. Sebenarnya aku juga ingin
melakukan semuanya seenakku, namun semuanya kembali lagi pada peraturan yang
entah sejak kapan dibuat. Disini aku merasa seperti orang tak bertanggungjawab
pada dirinya sendiri.
Esoknya sebisa mungkin aku memenuhi
keinginan ibuku untuk tidak pulang melebihi adzan maghrib dan tetap
melaksanakan tugasku terhadap ekstrakulikuler sehingga saat pulang aku membawa
banyak PR yang tetap akan mendapatkan omelan dari kanjeng ratu di rumahku.
Yah begitulah keluarga. Kadang membuat
kita sedih, menangis, senang, bahagia, tertawa, nyaman, tenang, dan semua itu
terus berputar layaknya roda.
Author : Lufitha
Pict Source : Here
0 komentar: