Aku dulu bersinar. Dulu. Dulu sekali. Aku anak yang sempurna. Aku cerdas, cantik, aktif, kreatif, bisa bernyanyi, menggambar, ikut pertuka...

Duniaku Terang walau Aku Tahu Ini Tak Akan Lama



Aku dulu bersinar. Dulu. Dulu sekali. Aku anak yang sempurna. Aku cerdas, cantik, aktif, kreatif, bisa bernyanyi, menggambar, ikut pertukaran pelajar ke luar negeri, menang olimpiade matematika dan masih banyak lagi. Orang tuaku sangat bangga padaku. Tidak hanya mereka, guru-guruku, dan saudara-saudaraku. Aku pekerja keras. Aku pengejar kesempurnaan. Aku jaga gengsi. Aku pantang hutang budi. Aku yang terbaik. Aku, aku, aku dan aku. Semua tentang aku yang bersinar.

Lalu pada suatu saat, tiga tahun yang lalu, duniaku gelap. Gelap segelap-gelapnya. Kau tahu kenapa? Aku tidak sempurna. Aku jauh sekali dari sempurna. Kau tahu kenapa? Aku sakit. Kau tahu sakit apa? Leukemia. Seketika cahayaku padam. Segala ke-aku-an yang ku bangun sejak kecil runtuh. Siapa aku? Aku hanyalah anak yang sakit. Ya benar, anak yang sakit. Sakit yang akan jauh dari kata sembuh. Sakit yang akan menggerogoti setiap inci organ organku. Sakit yang akan membuatku berobat selamanya. Sakit yang akan membuatku tak berdaya. Sakit yang akan membuatu berhutang budi kepada banyak orang. Dan sakit yang akan membawaku pada kematian. Segera. Lalu apa aku ini sekarang? Semua gelap. Tak ada lagi artinya diriku. Aku mati.

Aku masih tak percaya. Aku yang ini bukanlah aku. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini. Aku tidak sakit. Tubuhku tak akan lumpuh satu demi satu. Rambutku tak akan rontok karena kemoterapi. Aku tak akan melihat mata orang-orang mengasihani aku. Tidak. Semua ini hanya mimpi. Aku ingin bangun. Ini bukan aku. Bukan. Dan ternyata aku tidak sedang tertidur. Setiap malam kulewati dengan penuh kesadaran bahwa aku memang sakit.

Baiklah. Aku sakit. Mau tidak mau aku harus menerima kenyataan pahit ini. Aku mulai mengenang masalalu. Betapa dulu aku dielu-elukan. Betapa aku menikmati kecemburuan orang-orang atas kesempurnaanku. Tetapi setelah mereka tahu, mereka pasti hanya akan mengasihaniku. Tak melihat kemampuanku, kecerdasanku dan semua prestasi yang aku buat. Mereka hanya akan mengasihani aku. Menganggapku makhluk yang kasihan karena mendekati kematiannya.

Aku berpikir keras bagaimana menghadapi duniaku yang gelap ini. Bagaimana orang tuaku, teman-temanku, guru-guruku akan bereaksi terhadap keadaanku yang sekarang. Orang tuaku, mereka mendukungku secara material, tapi menyiksaku secara moral. Sudah kuduga sebelumnya. Mereka habis habisan mengobatiku dengan biaya puluhan juta, tapi mereka malu mengakui bahwa aku sakit. Mereka sama tidak terimanya jika anak kebanggaannya tidak sempurna. Aku harus berpura-pura sehat walaupun tulang-tulangku rasanya mau lepas. Mereka selalu bilang bahwa aku akan sehat, semua baik baik saja, aku akan sembuh, ini hal mudah dan sebagainya. Mereka mengatakan dengan senyum dan penuh kepercayaan diri bahkan ketika seluruh tubuhku lebam dan separuh tubuhku mati rasa.

Aku ingin berteriak bahwa aku sakit. Akuilah itu dan temani aku menghadapinya. Tetapi mereka selalu bilang, jangan membesar-besarkan masalah. Semua akan berlalu pada waktunya. Mereka bahkan tidak mengerti betapa takutnya aku menghadapi kematian. Semua ku tanggung sendiri. Berkali-kali aku ingin langsung mati saja daripada menghitung mundur umurku.

Guru-guruku, mereka menghawatirkan aku yang selalu mimisan di kelas dan pingsan berkali-kali. Mereka berhasil memaksa orang tuaku untuk mengakui bahwa aku sakit. Sudah kuduga pula. Mereka mengasihani aku. Mereka selalu bertanya apa aku sehat seolah olah aku bisa mati mendadak. Aku tidak diijinkan mengikuti banyak kegiatan, dan yang paling ku benci, mereka memandangku dengan penuh iba.

Harapan terakhir di duniaku yang gelap ini adalah teman-temanku. Ada seorang teman. Namanya Okta. Yang sejak hari pertama di sekolah ini selalu menemani hari-hariku. Walaupun kami sering bertengkar, tapi kami tetap bersama. Sebenarnya dia anak yang kurang beruntung. Dia yatim piatu. Dia tinggal bersama saudaranya dengan segala keterbatasan. Dia selalu menjadi tempatku meluapkan kemarahan. Tempatku melampiaskan kekecewaan, tapi dia sendiri tidak pernah mengeluhkan hidupnya. Hanya dia yang dapat kupercaya untuk menceritakan semua perasaanku.

Suatu hari aku bercerita, bahwa aku sakit leukemia. Dia tersenyum dan berkata bahwa dia sudah menduganya. Bagaimana dia tahu? Dia selalu menemaniku saat aku mimisan dan harus ke UKS. Di bilang bahwa warna darah mimisanku mengindikasikan perubahan struktur darah. Lebam lebam di tubuhku dan hari-hari aku ijin sekolah yang cukup rutin mendorongnya untuk mencari tahu apa yang terjadi padaku. Tetapi kenapa dia tidak menayakannya padaku? Dia sangat mengerti aku. Dia tidak ingin membuatku terpojok dan menjawab pertanyaannya. Dia menungguku mengatakannya sendiri. Dan hari itu aku mengatakannya.

Tetapi dia mulai menjengkelkan. Sama saja seperti orang lain. Dia menghawatirkaku berlebihan . Dia memandangku dengan iba. Dia mengingatkanku untuk mengingat Tuhan seolah-olah besok aku akan mati. Aku semakin tertekan. Sampai suatu ketika, hampir semua orang di sekolah tahu bahwa aku sakit leukemia. Aku yakin dia membicarakanku di belakang. Menceritakan bagaimana kasihannya aku bersama penyakitku ini. Aku benci padanya. Karena tak tahan satu-satunya temanku telah menghianatiku, aku pun meluapkan kemarahanku padanya.

“Apa maksudmu mengatakan pada semua orang bahwa aku sakit leukemia?”

“Apa?”

“Nggak usah pura-pura nggak tahu. Siapa lagi yang cerita kalau bukan kamu?”

“Oh, ayolah Augy. Orang nggak bodoh kalu cuma mau tahu penyakitmu apa.”

“Kamu enteng banget ngomongin penyakitku apa, kamu nggak tahu yang aku rasain kan?”

“Aku nggak tahu bagaimana rasanya punya penyakit kayak gitu, tapi bukannya aku nggak tahu rasanya penderitaan hidup.”

“Alahh, apa yang kamu tahu soal menderita. Semua orang sok tahu tentang rasanya sakit yang mematikan, tapi nggak ada satupun benar-benar mengerti bagaimana rasanya jadi aku.”

“Haha…, menurutmu kamu yang paling menderita di dunia ini? Jangan ngaco deh. Kamu sadar nggak, kamu masih jauh lebih beruntung. Kamu sakit, orang tuamu kaya. Mereka bisa mengobatkanmu ke mana saja. Bahkan mampu membayar operasi sum sum ratusan juta. Kamu beruntung punya adik yang bisa kau mintai donor. Kamu beruntung bisa ditangani oleh dokter-dokter terbaik di kota ini. Tahu nggak, banyak anak seperti kamu yang kurang beruntung. Orang tuanya miskin. Tidak dapat donor. Tidak diobati. Sadar nggak kalau masih banyak orang yang peduli sama kamu, menghawatirkanmu, tapi kamu nggak henti-hentinya menyalahkan semua orang padahal kamu sendiri yang membuatmu merasa menderita!”

“Ooh, aku lupa. Ada kamu yang lebih menderita. Anak yatim yang diasuh seperti pembantu. Yang rela keluar malam untuk cari uang sampai ngantuk di sekolah. Yang mau diajak_”

“Hentikan!”

“Apa? Kamu mau menunjukan bahwa kamu lebih menderita dari aku, ya kan?”

“Lalu apa maumu?”

Aku mulai menangis. Sebenarnya aku tahu semua yang dikatakannya benar.

“Kamu nggak tahu kan, rasanya mau mati?”

Okta mulai meneteskan air matanya.

“Dasar bodoh! Kamu juga nggak tahu kan rasanya ditinggal mati oleh orang yang kamu sayang?”

“Jawab aku dulu, Okta! Kamu nggak tahu kan rasanya mau mati?”

“Dengar Augy, kau sakit ataupun tidak, nggak ada yang tahu kapan kamu akan mati.”

“Kamu bisa bilang begitu karena kamu nggak sakit!”

Matanya memerah. Okta melotot dan menarik pundakku mendekat padanya.

“LALU MAU KAMU APA? KAMU MAU SEMUA ORANG MATI SEBELUM KAMU?”

Aku hanya menangis.

“Baiklah. Kamu takut mati? Kamu pikir orang yang sehat tidak takut mati? Kalau kamu senang kalau aku mati duluan, dan itu akan membuatmu yakin bahwa kamu akan hidup lebih lama dari orang lain, maka aku akan mati dengan bahagia.”

Aku pun menangis di pelukannya. Tidak hanya aku, dia juga menangis.

Enam bulan kemudian, Okta sakit. Sudah lama dia mengidap HIV/AIDS. Aku tidak pernah tahu. Aku menemani saat-saat terakhirnya di rumah sakit. Sebelum dia pergi untuk selama-lamanya, dia berkata bahwa dia senang karena dia meninggal lebih dulu dari pada aku. Dan dia berpesan bahwa aku bisa jadi apapun yang aku mau, karena menjadi diri sendiri tak harus menunggu esok hari. Aku menyesal pernah menyakitinya. Dia adalah cahayaku. Walaupun dia sudah pergi, dan aku masih disini, hidup berjuang melawan penyakitku, cahayanya begitu hidup dalam diriku. Aku belajar merangkul rasa sakit ini dan menjadikan perjalanan menuju kematian menjadi tidak sia sia.



Author : Black Sakura
Pict Source : Here

0 komentar: