Dalam waktu setengah tahun
terakhir telah terjadi banyak perubahan dalam hidup saya. Semuanya berawal
ketika saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan yang telah dijalani selama
tiga tahun. Ini bukan kali pertama saya resign
dari tempat kerja, namun yang membuat keputusan resign kali ini berbeda adalah bahwa saya tidak lantas pindah ke
tempat kerja formal yang lain. Dengan dijembatani oleh ayah saya, saya setuju
untuk menjalankan sebuah usaha dengan
kenalan ayah sebagai pemodal.
Kehidupan saya sebagai seorang
mamang-mamang penjual aneka jajanan dan bermacam-macam sembako pun dimulai. Ada
banyak hal yang tentunya harus disesuaikan. Jam kerja sudah tidak perlu
ditanya. Saya yang awalnya bisa bersantai-santai sambil sarapan sebelum
berangkat kerja jam 7.15 pagi, kini harus membiasakan diri pergi ke pasar
subuh-subuh untuk berbelanja serba-serbi keperluan warung. Saya yang biasanya
sudah kembali sampai di rumah pukul 6.30 sore sepulang kerja dan bisa langsung
makan malam kemudian bersantai kini baru bisa mendarat di sofa rumah pukul
sembilan malam bahkan kadang lebih. Pekerjaan pun masih dilanjutkan di rumah
dengan merekap pendapatan dan pengeluaran pada hari itu.
Perubahan lain yang tidak kalah
berpengaruh tentunya adalah perubahan kondisi finansial. Selama ini sebagai
buruh saya telah terbiasa untuk mengandalkan pendapatan bulanan yang sudah
ditentukan berapa jumlah dan kapan diserahkannya sebagai sumber pemenuhan
kebutuhan saya, entah itu primer, sekunder maupun tersier. Menjadi seorang
pedagang, sumber pendapatan saya kini betul-betul tergantung pada kinerja
penjualan warung yang tak pernah bisa ditentukan berapa besarannya.
Mengingat kondisi warung yang
masih merintis di tengah persaingan yang tidak bisa dibilang longgar, sampai
saat ini pendapatan warung belum bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
saya. Walhasil, wayahna, ada banyak
pos-pos pengeluaran yang harus saya kurangi bahkan hilangkan sama sekali. Meski
agak berat, tapi itu tidak pernah membuat saya terlalu kepikiran. Saya paham
betul bahwa ini adalah bagian dari proses yang mesti saya jalani dalam merintis
sebuah usaha.
Namun yang membuat saya sedih
adalah kenyataan bahwa perubahan kondisi finansial ini bahkan membuat saya
kehilangan sebuah kebiasaan yang telah saya lakukan selama tujuh tahunan, yaitu
kebiasaan membagikan uang saku/angpao/THR kepada adik dan keponakan-keponakan
saya ketika jelang lebaran. Melihat semringahnya wajah mereka saat menerima lembar-lembar
uang lima atau sepuluh ribuan yang sengaja saya pilihkan yang masih baru-baru
itu, selalu membuat saya merasa bahagia. Segala jerih payah yang saya keluarkan
ketika bekerja banting tulang untuk mengumpulkan uang-uang itu seolah
disembuhkan oleh segaris senyum dan sekalimat “nuhun” dari bibir mereka yang tulus dan malu-malu padahal ngarep.
Sepertinya betul kata orang-orang: terkadang kebahagiaan itu datang bukan ketika kita bisa membeli segalanya, melainkan ketika kita bisa membuat orang lain bahagia.
Lebaran tahun ini, saya
kehilangan perasaan itu. Sedih? Pasti. Tapi melebihi rasa sedih itu, muncul
juga perasaan lain yang tak kalah besar volumenya: semangat untuk bekerja lebih
keras lagi. Saya terus berkata pada diri saya sendiri, bahwa jika saya ingin
bisa mendapatkan perasaan itu lagi, maka dalam satu tahun ke depan saya harus siap
bekerja banting tulang supaya warung yang saat ini saya rintis bisa mulai
stabil dan menghasilkan. Tidak ada jalan lain. Saya kini belajar bahwa
kesedihan juga ternyata bisa menjadi pembuka jalan bagi lahirnya ambisi untuk
berbuat lebih baik.
Saya berharap meski di tahun ini
saya belum bisa memberikan apa-apa, di tahun depan saya bisa memberi adik dan
keponakan-keponakan saya lebih banyak kebahagiaan dari semua yang pernah saya
berikan selama ini. Amin.
Hwaiting!
Penulis: Han Namja
Pict Source : Here
0 komentar: