Semua orang pernah jatuh
cinta.
Semua orang pernah patah
hati.
Salah satunya adalah aku.
Tidak ada satu pun
kenangan yang terlewat ketika aku jatuh cinta. Jantung yang berdebar,
senyum yang tiba-tiba merekah, hasrat yang menggebu ingin bertemu, dan
imajinasi liar yang memberikan harapan bahwa kami akan bersama merajut impian
kita berdua, selamanya.
Kemudian, seiring detik
yang melaju cepat, bumi yang berputar setiap harinya, siang dan malam yang
tidak terhitung, kata cinta perlahan memudar, hanya menyisakan kata jatuh,
meninggalkan patah dalam dada. Saat hati patah, bukanlah perpisahan kami yang
membuat hati berdenyut sakit, melainkan harapan yang telah kami rajut bersama,
pupus bersama kata putus yang terlontar dari mulut kami berdua.
Dan selanjutnya hanyalah
rasa sesal yang melanda. Rasa sesal saat perjuangan kami tidak mampu membuat
kami bertahan. Rasa sesal yang membuatnya lepas, dan mencari sosok yang jauh
lebih sempurna dari aku. Dan sakit itu bertambah, saat ternyata harapan kami
berdua itu masih ada, tetapi bukan aku yang ia pilih untuk membuat harapan itu
menjadi kenyataan. Melainkan dia, wanita berambut panjang dengan senyum
secercah matahari pagi.
Aku terpuruk, itu adalah
pasti. Aku menangis, itu sudah mutlak. Aku tidak sanggup beranjak ke manapun.
Masih berdiri, menatap dan memuja punggungmu yang perlahan menjauh. Kemudian
seseorang berkata, “Untuk apa kau menangisi seseorang yang tidak ingin
menghabiskan sisa waktunya bersamamu?”
Aku menjawab, “Aku akan
menunggunya.”
Dan dia tersenyum, lalu berkata, “Maka menunggulah. Kelak jika seorang pria yang Tuhan pilih untuk menghabiskan sisa hidupnya bersamamu datang, maka kamu akan menyadari berapa detik yang kau sia-siakan hanya untuk menangisi seseorang yang tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamamu.”
Aku tertunduk, meresapi
perkataannya, menangisi akan ketidakberdayaanku. Aku ingin berpindah dari
tempatku berpijak, tetapi kakiku terbelenggu atas rasa cinta dan rasa sakit
yang tertinggal. Aku butuh penyelesaian. Aku kembali berjuang, bermodal puing
cinta yang telah kita hancurkan berdua. Aku ingin kembali bersamanya, menguntai
harapan kami berdua.
Tapi apa daya, dia memilih
untuk berlari menjauh dariku, lagi. Mendadak aku tidak tampak di matanya. Aku
seperti seorang wanita yang mengemis cinta pada satu pria yang enggan menguntai
kembali harapan kami, dan dalam hati aku sangat membencinya. Untuk kedua
kalinya, aku patah pada satu orang yang sama. Sisa puing yang kumiliki bercecer
menjadi kepingan yang tak mungkin kami bisa rangkai kembali.
Hidup terus berjalan,
bersama kekosongan dalam dada. Pada satu titik kejatuhanku dalam mencinta, hal
yang membuat semuanya sulit adalah mencoba bangkit kembali. Mencoba bangkit
tanpa adanya kilasan kenangan kami berdua yang selanjutnya membuatku ambruk
kembali. Kenangan yang dulunya kuanggap sempurna, kini berubah menyerangku,
menusukku tanpa membiarkanku berlindung pada sesuatu. Aku jatuh
sejatuh-jatuhnya. Aku tidak bisa bangkit jika aku memotong garis tengah, aku
hanya bisa bangkit jika aku memulai semuanya dari awal. Berdamai dengan
kesakitan adalah hal yang tersulit kedua yang harus kuhadapi.
Saat aku bisa
membicarakanmu dalam gelak tawa, saat itu adalah awal aku memulai segalanya.
Kupungut kembali kepingan harapan yang tercerai berai, kukumpulkan menjadi satu
di dalam wadah rasa, dan menunggu seseorang yang pantas dan layak untuk
menyusun kepingan harapan kami bersama-sama. Dalam sepertiga malam, aku
menghamba agar dipertemukan pada seseorang pemilik puzzle dari kepingan harapan
milikku. Dalam rentan waktu, aku menyusuri kepingan harapan milik orang lain,
berharap ada yang sesuai dengan kepingan harapan milikku. Namun, sampai tulisan
ini dibuat aku belum menemukannya.
Malam ini, aku
mengembuskan napas panjang, mengusap kepingan harapanku yang kembali bergemuruh.
Tidak ada yang mengatakan mudah saat kita dipaksa untuk bangkit berdiri dengan
kaki sendiri, setelah lebih dulu terluka dan ambruk tak berdaya. Tidak ada
penopang, tidak ada tumpuan. Hanya bermodal kata, bahwa sebagian besar orang
bergantung pada kehidupan dan kewarasan jiwa kita. Tidak ada pilihan, selain
memecut batas kemampuan, sejauh mana aku sanggup bertahan. Kembali menarik
semua rencana dan harapan dari awal, dari angka nol. Meniti semuanya dari
bawah, merajut rasa percaya sedikit demi sedikit, dan mencoba memantaskan diri.
Ditemani keyakinan, aku
percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia secara berpasangan. Jika bukan sekarang,
maka terserah Tuhan kapan ia akan menghadirkannya. Tuhan memiliki hak preogatif
mutlak akan pasanganku. Saat ini, Tuhan
hanya membiarkanku belajar akan sebuah rasa mendamba yang disebut cinta. Tuhan
hanya membiarkanku terjatuh agar aku bisa bangkit kembali bagaimanapun caranya.
Tuhan ingin melihat sejauh mana aku sanggup berjuang dan bertahan. Dan saat aku
dinyatakan lulus olehnya, maka Tuhan akan mengirimkan makhluk-Nya untuk
menyusun kepingan hati kami bersama-sama.
Author : zrvahlevi
Pict Source : https://uk.pinterest.com/pin/567946202991786555/
0 komentar: