Jatuh cinta adalah gerbang menuju patah hati. Tidak ada istilah happy ending bagi orang seperti saya. Yang harus saya lakukan a...

Cinta yang Menyakitkan, Cinta yang Membebaskan






Jatuh cinta adalah gerbang menuju patah hati. Tidak ada istilah happy ending bagi orang seperti saya. Yang harus saya lakukan adalah mematikan perasaan saya. Berhenti jatuh cinta adalah satu-satunya cara untuk berhenti terluka. Itulah kalimat-kalimat yang selalu saya katakan pada diri saya sendiri. Tapi nyatanya, semua itu tak ada artinya ketika saya bertemu dia. Sebuah senyuman darinya terbukti cukup untuk menghempaskan semua pertahanan diri saya. Membuat saya akhirnya terjun lagi menuju jurang yang sama.

It was not love at the first sight. But it was definitely the love that i will always remember.

Perlu waktu lebih dari setahun sejak pertemuan pertama kami untuk membuat saya yakin bahwa saya telah jatuh cinta padanya. Semesta yang senang mempermainkan perasaan manusia, dengan rapi membuat skenario untuk kami berdua. Perubahan-perubahan terjadi di tempat kami sama-sama bekerja, dan tanpa disadari tahu-tahu kami sudah menjadi sedemikian dekat. Interaksi antara kami meningkat berkali-kali lipat.

Saya selalu gampang suka pada orang yang bisa membuat saya tertawa. And he was such a funny guy. He’s like a comedian. A handsome one, i must say. But of course, he was way more than just good looking. Dia memperlakukan saya dengan perlakuan yang tidak pernah saya terima dari siapa pun sebelumnya. Cara dia menggenggam erat tangan saya ketika kami berjalan bersisian sepulang kerja. Cara dia memeluk pinggang saya dengan lengan kirinya yang kurus di sela-sela kesibukannya. Dan cara dia menatap mata saya lalu berkata: aku kangen. Semua itulah yang pada akhirnya membuat rasa cinta itu tumbuh di hati saya.

Saya tidak perlu diberitahu bahwa rasa cinta yang saya miliki merupakan sebuah perasaan terlarang yang bahkan dianggap sebagai aib, penyakit, sampah, kutukan, you name it. Saya sadar betul bahwa yang seharusnya saya lakukan adalah memusnahkan perasaan itu hingga lenyap tak bersisa. Tapi saya tak bisa. Saya lebih memilih untuk merawatnya diam-diam. Saya ingin jantung saya tetap berderap kencang ketika saya menelusuri setiap lekuk wajahnya dengan mata saya dari kejauhan.

Meski perasaan itu tumbuh semakin lama semakin membesar, saya tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan yang sejujurnya. Saya cuma bisa tutup mata dan mengurut dada ketika dia bermesraan bersama pacarnya, di hadapan saya. Tak terhitung betapa banyaknya momen-momen ketika saya berharap bahwa saya dan perempuan itu bisa bertukar tempat. Even just for a day, that would be more than enough. Tapi tentu itu tak pernah terjadi.

Entah apa yang saya rasakan ketika saya menghadiri pernikahan mereka. Sebuah pernikahan yang sederhana, tapi mereka terlihat begitu bahagia. Ada cinta di sana, saya bisa merasakannya. Kami tetap berteman setelah pernikahan itu meski tak pernah lagi menghabiskan banyak waktu bersama-sama. Dia lebih sering bersama istrinya, tentu saja. Dia juga tak pernah lagi memegang erat tangan saya ketika menyusuri koridor sepulang kerja. Atau memeluk pinggang saya ketika senggang. Tapi senyum itu selalu hadir. Senyum yang tanpa perlu aba-aba selalu mekar dari bibir kami berdua setiap kali kami berpapasan di parkiran. 

Setahun setelah dia memiliki anaknya yang pertama, saya memutuskan untuk pindah kerja ke luar kota. Selain karir yang tidak berkembang selama empat tahun di tempat lama, jujur saja, sebagian alasan lainnya adalah karena saya ingin memulai hidup baru. Saya ingin melupakannya. Ketika itu saya berpikir bahwa pergi menjauh mungkin akan sedikit membantu.

I cried a river when i finally said goodbye to him. Saya tak pernah menangis sederas itu sebelumnya. Saya berusaha sekuat tenaga untuk telihat tegar, tapi ternyata untuk urusan berpura-pura, mata tidak bisa selihai lidah. Usai memberikan saya pelukan selamat jalan, ia meminta saya untuk menuliskan sesuatu di seragam kerjanya sebagai kenang-kenangan. Dalam hati, saya ingin sekali menuliskan sebuah ‘i love you’, tapi yang berhasil diterjemahkan oleh otot-otot lengan saya hanyalah sebatas: ‘thank’s for being my best friend ever’.

Tidak perlu waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa menjauh sama sekali tidak berhasil membuat saya lupa, yang ada hanyalah rindu. Di hari keberangkatan saya ke luar kota, saya sudah menangis ketika baru duduk di dalam bus. Hari-hari saya di tempat baru sama sekali tidak lebih mudah. Saya selalu memikirkan dia. He even came to my dream once. Enam bulan kemudian akhirnya saya kembali pindah ke Bandung dengan tujuan sederhana: menempatkan diri sedekat mungkin dengan teritorinya supaya suatu hari kami mungkin bisa bertemu lagi. 

Tapi semesta yang ternyata sama sekali masih belum berkurang kadar keisengannya, selalu punya cara untuk membuat kami terpisah. Janji-janji temu yang kami sepakati selalu kandas karena banyak hal yang menginterupsi silih berganti. Hingga pada suatu hari saya akhirnya merasa tak tahan lagi. Saya ingin menyatakan perasaan saya. Saya tahu bahwa saat itu dia sudah berkeluarga, tapi saya benar-benar butuh jawaban. Saya ingin tahu dengan pasti makna dari setiap senyuman, ungkapan kerinduan, genggaman tangan dan pelukan yang dulu pernah ia berikan pada saya.

Melalui pesan singkat, saya mengungkapkan perasaan yang sekian lama saya pendam. Tiga buah kata sakti: I love you.

Reaksinya di luar dugaan saya. Dia tertawa. Or to be precise, he laughed at me. Sama seperti orang-orang lain yang pernah menerima ungkapan cinta dari saya, dia juga menertawakan saya. Menertawakan perasaan saya. Akhirnya saya tahu, saya tak pernah ada di hatinya.

Apakah saya merasa sakit hati? Tentu. Tapi rasa sakit itu mengantarkan saya pada perasaan lain: 

Lega. Kini saya tak lagi bertanya-tanya. Tak lagi berpegang pada harapan yang tak pernah ada. Saya merasa telahir kembali. 

Setelah melalui rasa sakit itu, saya bisa memulai hidup baru tanpa perlu melupakan siapa-siapa. Saya hanya perlu menerima rasa sakit itu. Dan saya sudah menerimanya. I am finally free.

Meski kisah cinta saya tidak berakhir bahagia, saya tidak menyesal pernah mencintainya. He will always be in my heart, forever.

Author : Liyan
Pict Source : https://uk.pinterest.com/pin/536913586812819009/

0 komentar: