Kata orang, kesempatan itu hanya datang sekali. Jadi, sebagai manusia kita harus bisa memiliki kepekaan kapan kesempatan sejati kita muncu...

Beribu Kesempatan



Kata orang, kesempatan itu hanya datang sekali. Jadi, sebagai manusia kita harus bisa memiliki kepekaan kapan kesempatan sejati kita muncul. Kesempatan sejati yang akan mengantarkan kita melambung. Terbang setinggi awan. Membuat kita terkenal. Sukses. Kaya. Dan berbagai kepenuhan materi lainnya. Malang, bagi orang-orang yang tidak dapat membaca kesempatan dan memanfaatkannya dengan baik maka akan susah seumur hidup. Lalu meratapi diri dalam penyesalan. Kenapa mereka tidak bisa membaca kesempatan. Kemudian berandai-andai. Andai saja tempo hari saya mengambil keputusan itu. Andai saja saya berani melakukannya.

Tetapi bagi saya, setiap manusia itu memiliki banyak kesempatan. Tidak perlu menyesal dengan setiap pilihan yang kamu buat. Ya, saya salah satu orang yang tidak percaya dengan pepatah “Kesempatan itu datang sekali.” Setiap fase bahkan setiap hari dalam hidup saya nilai sebagai kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki diri, kesempatan untuk keluar dari zona nyaman, dan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dan saya, telah menjalani beragam kesempatan.

Pekerjaan pertama saya setelah lulus kuliah adalah menjadi kuli tinta. Setiap hari saya berkesempatan bertemu dan mewawancarai tokoh-tokoh terkenal yang dulu hanya bisa saya lihat lewat layar kaca. Enaknya ketika jadi jurnalis, saya bisa masuk dan nonton gratis pertandingan olahraga atau acara pentas seni. Tetapi, saya merasa kepribadian unik saya yang waktu itu susah bergaul memasung saya untuk menikmati pekerjaan tersebut. Saya memutuskan berhenti dan mencari kesempatan lain.

Akhirnya saya bantu-bantu di Kedutaan Australia di Jakarta. Hanya berjalan beberapa bulan karena saya belum bisa keluar dari kebebasan sebagai jurnalis. Bekerja di kantoran lebih banyak aturannya. Seperti jam kantor yang mengikat, pakaian kerja yang harus rapi, dan etika interaksi dengan rekan kerja yang lebih formal. Apalagi saya bekerja di bidang birokrasi pemerintah. Masa peralihan itu sempat membuat saya stress. Saya memutuskan melamar sebagai pegawai setempat atau staff local di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pikiran saya ketika itu, kalau bekerja dengan sesama orang Indonesia mungkin lebih baik. Saya berhasil lulus sejumlah tes dan ditempatkan ke sebuah negara di Timur Afrika. Saat itu saya sangat senang karena kesempatan saya untuk bekerja di luar negeri kesampaian.

Saya memanfaatkan kesempatan itu dan bertahan selama dua tahun. Tidak ada masalah berarti sebenarnya dengan pekerjaan saya yang berstatus kontrak itu. Tetapi, interaksi dengan rekan kerja kurang baik seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Saya ditempatkan di sebuah rumah dengan tiga kamar tidur. Saya tinggal di salah satu kamar itu. Dua rekan kerja lelaki Indonesia menempati dua kamar lainnya. Awalnya membuat saya kurang nyaman. Tapi, ya sudahlah saya terima karena tidak punya pilihan lain mengingat sewa rumah di Afrika itu bukan perkara mudah. Selain harga sewa yang selangit, faktor keamanan juga patut dipertimbangkan.

Salah satu rekan kerja saya yang tinggal di rumah itu selalu bersikap kasar. Entah memang seperti itu pembawaannya atau saya yang terlalu sensitif karena baru pertama kali merantau. Jauh dari orangtua, kerabat, dan sahabat. Pernah suatu kali saat saya sedang bekerja sambil menyanyi, dia memukul meja dengan sangat keras. Lalu berteriak “Shut up!” Saat itu saya kesal karena menurut saya dia bisa berbicara dengan baik. Sebagai sesama orang Indonesia seharusnya dia bisa berperilaku dengan baik kepada saya. Pernah juga saya nyaris disiram air rendaman magic jar ketika hendak keluar rumah. Saya sudah menanyakan dengan baik apa masalahnya dengan saya sehingga kasar seperti itu. Tetapi dia hanya diam.

Akhirnya, saya tidak tahan dan melaporkan sikapnya kepada atasan saya dan dia dipindahkan ke rumah lain. Sebenarnya, bullying bukan hanya dilakukan olehnya. Beberapa rekan juga suka mem-bully saya. Pernah di suatu acara kumpul-kumpul saya dikatai di depan orang banyak. Saat itu saya timpali dengan bercanda. Tetapi saya sempat kesal karena meskipun lelucon, hal itu dilakukan di hadapan orang yang bukan rekan kerja saya. Setidaknya saya juga punya harga diri kan.

Dua tahun di Afrika saya bertanya-tanya pada diri sendiri. Sebenarnya apa masalah saya? Apakah saya yang terlalu sensitif. Saya mungkin home sick. Merindukan rumah yang penuh cinta dari ibu saya. Menginginkan teman-teman yang asyik yang sejalan dengan saya. Tetapi, saya tidak menyerah. Saya katakan kepada diri saya kalau ini kesempatan untuk jadi orang yang lebih tangguh. Saya tumbuh besar di tengah keluarga yang penuh kasih sayang dan lemah lembut. Jadi, saya sangat kaget menghadapi dunia yang ternyata banyak dihuni para raksasa. Afrika mengajarkan saya kesempatan untuk berkembang dan berani melawan. Tetapi, apapun yang orang lakukan kepada saya, saya selalu berpesan pada alam bawah sadar untuk tidak mendendam. Dendam hanya menutup pintu kesempatan lain. Kesempatan bukan hanya soal uang. Merasakan pertumbuhan diri dan batin merupakan kesempatan paling mahal.

Kesempatan lain yang saya coba yaitu percaya pada diri sendiri. Saya memutuskan ke Amerika Serikat selama dua pekan. Dari Afrika saya terbang sendirian ke Boston lalu menjelajahi New York, Washington DC, dan Los Angeles. Dengan uang tabungan saya, saya ciptakan kesempatan untuk mewujudkan mimpi sekaligus menguji diri sendiri. Saya biarkan diri saya dibawa pesawat, metro, bus, taksi, dan kereta api. Saya biarkan diri saya membaur dengan keterasingan karena itu kesempatan saya dapat mengenal diri saya sendiri. Saya yang sebenarnya sangat beruntung. Walau mungkin sebetulnya, sayalah yang mengejar keberuntungan itu.

Saat itu musim semi ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Boston. Udara dingin menusuk tulang meskipun saya telah mengenakan jaket. Beberapa hari kemudian ketika transit di Chicago salju turun. Salju pertama yang saya rasakan. Salju yang menebus keinginan saya sejak kecil untuk dapat menyentuhnya. Hari-hari yang saya jalani di Amerika menyadarkan saya kalau kesempatan dan keberanian itu sama persis. Tidak beda.

Kesempatan sesungguhnya diciptakan kemauan kita. Saat kita mau berusaha maka kesempatan itu muncul tanpa disadari. Bukan soal seberapa cermat kita melihat kemungkinan. Tetapi seberapa berani dan seberapa besar kemauan kita untuk bertumbuh atau sukses. Jika yang dicari kesuksesan maka harus berani ambil resiko dan lakukan keinginan yang berkaitan dengan bisnis. Dalam kasus saya, kesempatan atau keberanian yang saya lakukan lebih ke arah dalam. Mengobati luka dan keraguan yang selama ini bersarang. Luka yang disebabkan bullying dan ketidaktegasan diri saya sendiri. Bukan salah para pem-bully. Tetapi saya yang tidak tegas dan membiarkan mereka ‘bersenang-senang’ dengan diri saya.

Masa kontrak saya di Afrika berakhir dan saya kembali ke Jakarta. Kembali ke tengah keluarga yang saya cintai meski kami juga sering berselisih pendapat. Kembali ke rumah, tempat saya mengangankan kesempatan yang akan saya lalui sejak kecil. Kembali ke Jakarta berarti saya harus menciptakan kesempatan bagi diri saya sendiri. Saya belum ada ide, kesempatan apa yang akan saya ciptakan saat harus menghabiskan hari-hari saya lagi di kota kelahiran saya. Kali ini saya biarkan Pencipta membuka jalan. Ternyata, saya disuruh Dia bergabung dengan para peneliti pertanian di sebuah perusahaan besar.

Kesempatan itu sesungguhnya datang berkali-kali untuk menjadikan kamu sukses atau lebih baik. Bagi saya, sukses itu ya bahagia dan menerima diri kamu sendiri.

Kesempatan itu mengajarkan saya banyak hal. Seberapa tidak tahunya saya akan banyak hal di dunia itu. Kesempatan untuk belajar hal baru. Saya harus memahami teknologi dalam waktu singkat. Kesempatan itu juga membuat saya menilai kehidupan dengan cara lain. Memang, saya belum bisa sepenuhnya menjalani hari-hari saya dengan baik. Seringkali karena menjalani yang bukan bidang saya, saya merasa ingin menyerah di tengah jalan. Tetapi, ini kesempatan bagi saya untuk merasa positif dan berharga. Karena tidak banyak orang dari bidang lain dipercaya bergabung dengan tim peneliti dimana kebanyakan dari mereka mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari saya di universitas negeri di Indonesia bahkan dari luar negeri. Kesempatan itu sesungguhnya datang berkali-kali untuk menjadikan kamu sukses atau lebih baik. Bagi saya, sukses itu ya bahagia dan menerima diri kamu sendiri. Sukses itu bisa bersyukur atas apa yang telah diberikan walau perjalanan itu penuh kerikil dan menyayat hati. Sukses itu bukan soal seberapa banyak uang di rekening tabungan. Sukses itu adalah saat kita bisa berdamai dengan diri sendiri kemudian membiarkan kehidupan mengajarkan banyak hal. Sukses itu adalah menerima setiap tantangan dan menciptakan keseimbangan yang baik. Meskipun ya tidak setiap hari kita merasa nyaman dengan diri sendiri.


Author : Azalea Widi
Pict Source : Here

0 komentar: