Terkadang kita merasa sedang berada di titik terburuk dalam hidup. Setelah melalui proses yang menyakitkan, manusia sekiranya akan belajar. Ketika masa sulit datang, pilihan muncul. Bertahan pada situasi sulit itu atau mengubah diri menjadi lebih baik agar nyaman menjalani masa depan.
Uya adalah perempuan biasa yang hidup di kota tetangga, 2 jam jarak tempuh dari kota asalnya. Uya hidup berjauhan dari keluarga. Sejak kuliah hingga sekarang bekerja, Uya memilih kota lain sebagai tempat peraduan. Sepuluh tahun sudah Uya berdomisili di tempat yang berbeda dengan orang tua dan adiknya. Uya jarang pulang ke kota kelahirannya. Dia menyimpan satu alasan untuk tidak sering-sering pulang kampung.
Uya memiliki satu adik perempuan bernama Ula. Usia mereka hanya terpaut setahun. Hubungan persaudaraan Uya dan Ula nampak dari luar tidak seakrab dan semanis kakak beradik perempuan lainnya. Mereka lebih sering melakukan aktivitas sendiri, berdiam di kamar masing-masing, tidak banyak interaksi fisik maupun berkomunikasi secara verbal, tapi ada kalanya mereka terlibat perang dingin karena hal-hal yang berkaitan dengan lisan.
Berbeda dengan Uya yang memilih hidup terpisah di kota lain, Ula, sang adik, masih tinggal dengan kedua orangtuanya di kota asal mereka. Hal ini bukan tanpa sebab. Ula terpaksa 'bergantung' pada orang tua di usia yang sejujurnya telah pantas untuk hidup mandiri karena nasib yang kurang mujur. Ula sering membandingkan diri dengan kakaknya. Betapa tidak, Uya terbilang lancar dan sukses menempuh pendidikan sejak kecil hingga dewasa, mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang digelutinya, hingga berjodoh dengan pria melalui proses yang mudah-mudah saja. Ula merasa dirinya kurang. Dia gagal menempuh pendidikan tinggi, drop out dari kampus, menjadi bahan bullying banyak orang, bahkan yang terparah oleh kedua orang tuanya sendiri.
Orang tua Ula memperlakukan Ula kurang santun. Ula banyak mendapat hardikan dan makian kata-kata pedas nan menyakitkan. Ula berdiam di rumah karena tidak punya apapun untuk dikerjakan di luar sana. Dia pengangguran, tak punya uang, juga tiada teman. Sehari-hari Ula melakukan berbagai aktivitas rumah tangga seperti mencuci baju, menyapu, mengepel, belanja ke pasar hingga memasak karena kedua orangtuanya bekerja. Dia mengambil alih tugas rumah tangga dan melakukan berbagai pekerjaan rumah dengan ikhlas karena didera perasaan bersalah dan ketakutan terhadap murka kedua orang tua. Ula sadar penuh kesalahan yang membuat hati orang tuanya terluka. Dia merasa gagal membanggakan mereka. Karena itulah, Ula menyimpan segala bentuk ketidak nyamanan yang diterima secara fisik atau verbal dari ayah ibunya, dia menahannya dengan sabar. Ula percaya, suatu saat nanti kedua orang tuanya akan ikhlas menerima keadaan dirinya.
Kegagalan Ula pada bangku perkuliahan memang membuat orang tua Ula terluka dalam. Upaya maksimal yang mereka lakukan untuk menyekolahkan Ula di tingkat lebih tinggi seolah dibayar dengan pengkhianatan. Bayangkan, Ula dua kali gagal menjalani dunia perkuliahan dengan permasalahan yang sama, yaitu keterbatasan skill sosial! Ula tidak pandai bergaul hingga yang terjadi kemudian, Ula selalu menjadi bahan bullying teman-teman sekampusnya. Pernah suatu ketika satu geng teman sekosnya memasukkan Ula ke kamar, menguncinya, lalu menghujani Ula bergantian dengan kalimat-kalimat bullying yang kejam. Ula pun memilih menyerah dari dunia kampus yang menurutnya berisi manusia-manusia mengerikan. Hal ini membuat orang tuanya kecewa dan merasa malu luar biasa. Ayah Ibu Ula meluapkan amarahnya setiap saat pada Ula tanpa henti jika ada kesempatan. Bahkan ketika mereka terganggu dengan suatu hal, Ula lah yang menjadi pelampiasan. Begitu seterusnya berulang-ulang hingga pada akhirnya muncul pikiran di kepala Ula kalau keadaan ini tidaklah adil baginya. Penyesalan datang, mengapa bukan Uya yang mendapat perlakuan seperti ini. Mengapa bukan kakaknya saja yang bernasib buruk. Mengapa hanya Uya yang bahagia. Pertanyaan itu selalu muncul di benak Ula hingga suatu hari ketika Uya kebetulan mampir pulang sebentar, Ula berkeluh kesah tentang keadaannya pada Uya.
"Aku nggak tahu, kenapa Ayah dan Ibu selalu begini, mbak? Aku sudah tunjukkan penyesalan dan usaha menebus kesalahan, tapi setiap saat mereka memusuhiku. Aku harus gimana? Kamu enak mbak. Jauh dari mereka, nggak perlu dengar lagi marah-marahnya Ayah, hardikan Ibu, dan pertengkaran keduanya setiap hari."
Uya bukannya tidak tahu keadaan rumah yang kacau balau. Jauh sebelum insiden drop out Ula dari kampus terjadi, Uya terlebih dulu mengendus adanya ketidakberesan di rumah. Ayah dan Ibu yang selalu bertengkar menjadi pemandangan sehari-hari masa kecil Uya hingga remaja. Belum lagi jika Uya dan Ula melakukan sesuatu yang kurang pas menurut orang tuanya, mereka dihardik dengan keras, dijadikan bahan perbandingan dengan anak-anak tetangga, hingga puncaknya bentakan demi bentakan yang membuatnya trauma. Uya memutuskan meninggalkan rumah ketika kuliah hingga sekarang. Dia tidak merasa nyaman berteduh seatap dengan orang-orang yang selalu merentetinya dengan lampiasan amarah. Tinggal lah Ula sendirian di rumah itu, menjadi bulan-bulananan jikalau diperlukan.
Uya menjawab adiknya agak ketus, "Kamu masih kuat berapa lama lagi di sini? Bertahan lah sambil kumpulkan recehan, siapa tahu kamu bisa berdiri sendiri setelah ini. Kalau kamu sudah nggak kuat, pergi saja. Atau lawan mereka. Suruh mereka bercerai daripada saling menyakiti."
Ula hanya terdiam mendengar jawaban kakaknya. Uya memang sengaja berkata demikian. Dia berpikir tentang perceraian sejak lama, memikirkan bahwa mungkin solusi terbaik bagi kedua orang tuanya adalah bercerai saja. Ironis memang. Ketika anak-anak lain selalu berharap orang tuanya selalu bersama, Uya mengharapkan hal sebaliknya.
"Biar Ayah dan Ibu nggak lagi suka melampiaskan amarahnya sama kita. Biar mereka bebas bergerak tanpa batas! Capek rasanya aku begini terus! Aku juga nggak bahagia, sama seperti kamu. Sama sekali nggak bahagia lihat mereka begitu. Lalu lihat kamu dijadikan kambing hitam semua permasalahan! Apa mereka harus lihat salah satu dari kita mati dulu baru mereka sadar apa yang mereka lewatkan?" Uya melanjutkan dengan penuh emosi sambil terbawa perasaan.
Aku juga nggak bahagia, sama seperti kamu. Sama sekali nggak bahagia lihat mereka begitu. Lalu lihat kamu dijadikan kambing hitam semua permasalahan! Apa mereka harus lihat salah satu dari kita mati dulu baru mereka sadar apa yang mereka lewatkan?
Ula merespon luapan emosi kakaknya dengan berkaca kaca, "Kalau Ayah dan Ibu cerai, lalu aku gimana mbak? Aku belum bisa apa-apa sendirian. Kalau aku harus pergi, aku harus pergi kemana?"
Uya tidak menanggapi pertanyaan Ula. Dia hanya mendengus kesal dan beranjak. Sebetulnya, Uya pun tak tahu bagaimana harus menjawab Ula. Meskipun sejujurnya dia ingin Ula turut serta bersamanya ke kota tetangga. Uya mengurungkan niat memberitahu Ula. Dia hanya bergerak menjauh dan pergi begitu saja.
----------------------------- ###### -------------------------
Sabtu pagi, Uya menghubungi keluarganya. Ada dokumen yang harus dikirim melalui jasa titipan paket. Dia meminta tolong Ula mengambilkan paketan itu jika telah tiba di kota asalnya. Ula menyanggupi.
Malam harinya, Uya sedang keluar bersama seorang karib. Mereka berencana hang out di satu pusat perbelanjaan setelah sebelumnya menyelesaikan makan malam.
Uya sedang duduk di dalam mobil yang dikemudikan sahabatnya, ketika tiba-tiba Hp-nya berdering pelan. Ada telepon masuk. Nomor Ibu, "Ah, pasti Ibu mau kabarkan paket dokumen yang aku kirim tadi sudah sampai." Ujar Uya dalam hati. Uya memencet tombol terima telepon dan dengan santai menyapa sang Ibu, "Halo Bu. Iya, Waalaikumsalam..."
Di ujung telepon, Ibu berkata pelan namun cukup untuk mengubah raut wajah Uya menjadi pucat pasi. "Mbak, adik tadi sudah ambilkan titipan paketmu, tapi pas nyebrang jalan raya, dia ditabrak orang mabuk. Adik kecelakaan mbak..."
Dheggg! Jantung Uya serasa berhenti berdetak. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Dia berteriak di dalam mobil yang masih melaju itu, "Astaghfirullah... Ya Allah!!!"
Teman Uya yang sedang menyetir merasakan ada hal yang tidak beres tengah terjadi. Seketika dia menepikan mobilnya dan mencoba menenangkan Uya. Dengan tangan gemetar memegang Hp dan suara tersengal menahan tangis, Uya bertanya pada Ibu, "Adik gimana bu? Sekarang gimana?"
Ibu menjelaskan dengan suara lirih tentang detail kejadian yang menimpa Ula. Bahwa Ula ditabrak pengendara motor mabuk ketika sedang berjalan menyeberang menghampiri kurir titipan paket untuk menerima dokumen dari Uya. Kini Ula sedang berada di rumah sakit setempat memperoleh penanganan pertama. Ula mengalami patah tulang hidung cukup parah. Tulang hidungnya hancur akibat terjangan keras hingga terjadi perdarahan hebat yang menyebabkan darah masuk ke saluran pernafasan hingga paru-paru. Dokter berupaya untuk menjahit luka menganga di hidungnya sekaligus mengeluarkan darah yang masuk ke saluran pernafasan.
"Setelah ini adik dioperasi mbak... doakan ya, semoga nggak kenapa-kenapa." Suara Ibu tercekat di seberang sana.
Sakitttt hati Uya mendengarnya. Betapa dia merasa bersalah yang teramat sangat terhadap adiknya. Betapa Uya ingin menghukum diri sendiri karena menganggap bahwa dia lah penyebab adiknya tertimpa kemalangan. Semua peristiwa buruk yang dilalui Ula terbayang kembali di benak Uya. Bagaimana Ula harus bertahan sendiri di rumah yang hanya dipenuhi oleh pertengkaran kedua orang tua, bagaimana Ula selalu menjadi sasaran pelampiasan kemarahan, mendapat bentakan dan cacian jika Ula melakukan kekurangan, belum lagi lara hati Ula ketika menjadi bahan bullying teman-temannya. Memikirkan hal itu hati Uya teriris perih. Uya bergidik mengingat kalimat terakhir yang diucapkan langsung pada Ula di hari kepulangannya, "... Apa mereka harus lihat salah satu dari kita mati dulu baru mereka sadar apa yang mereka lewatkan?"
Uya menghela nafas panjang dengan gemetar. Penyesalan menghampiri. Mengapa tidak sejak dulu Ula dibawa serta bersamanya? Mengapa dia tidak berada di samping Ula ketika Ula diperlakukan semena-mena? Mengapa tidak menyayangi Ula dengan cara sewajarnya, lebih perhatian, mengungkapkan perasaan sayang dengan gamblang? Pertanyaan-pertanyaa itu terus berputar di kepala Uya sepanjang jalan menuju kosnya.
Uya diantar pulang ke kos karena ingin sendirian menenangkan diri. Begitu membuka pintu kamar, Uya menghambur ke dalam seraya menjerit histeris, menumpahkan tangis hebat yang sedari tadi ditahan. Berkali kali Uya memukuli dadanya yang terasa perih. Itu adalah tangisan terhebat ke dua Uya setelah peristiwa kehilangan yang dialaminya 3 tahun lalu. Uya serasa ingin saat itu juga berlari ke tempat Ula berada. Namun hari sudah malam, keadaan tidak memungkinkan Uya pulang ke kampung halamannya. Paling cepat esok pagi baru lah Uya bisa pulang.
Dalam kekalutan penuh isak tangis dan jeritan tertahan, Uya kembali menghubungi Ibu lewat telepon. Menanyakan perkembangan Ula. Ibu menenangkan Uya yang jelas terdengar tak karuan. Ibu memastikan Ula sudah ditangani oleh dokter dan sedang dipersiapkan untuk operasi esok hari. Kalimat Ibu tidak juga berhasil membuat Uya tenang. Semalaman Uya mondar mandir di kamar, panik, gelisah, dan stress melanda. Tidak sabar rasanya menunggu matahari terbit untuk segera berangkat menyusul Ula.
Ditengah carut marut perasaan, dilihatnya sajadah yang tergantung rapi di kursi. Uya tertegun sejenak lalu mendekat. Perlahan diambilnya sajadah bludru biru itu, lalu dibentangkan ke lantai. Uya mengambil air wudhu, memakai mukena yang tersimpan lama di lemari, dan mulai berkomunikasi dengan Tuhan, Tuhan yang beberapa waktu ke belakang diabaikannya. Uya bersujud dan bersimpuh memohon. Berjuta perasaan sesal menyeruak hadir dalam sanubarinya. Hingga tengah malam tiba, Uya masih khusyuk dalam momen spiritualnya. Betul kata orang, manusia akan mencari Tuhan ketika dia sedang tertimpa musibah, setelahnya, manusia suka lupa! Dan dalam sujudnya, Uya bertekad untuk berubah!
Keesokan hari, Uya diantar oleh teman dan buru-buru pulang ke kota tempat asalnya. Mereka menuju rumah sakit tempat Ula dirawat. Uya tidak sabar, langkahnya panjang-panjang, tak jarang dia berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit hingga tiba di depan ruang bedah utama. Ula sedang ada di dalamnya. Di luar, nampak kedua orang tua Uya menunggu dengan tampang kuyu tanda habis menangis semalaman.
Beberapa saat kemudian, operasi selesai dan Ula dibawa kembali ke ruang perawatan oleh suster. Uya melihat Ula pertama kali pasca kecelakaan. Seluruh wajahnya memar dan separuhnya berbalut perban, mata kiri Ula lebam dan memerah tanda terjadi pedarahan di dalam sana, hidungnya tertutup kain kasa tebal. Uya memanggil adik satu-satunya itu lirih, "Dek, ini mbak..."
Ula yang baru sadar pasca operasi berusaha menjawab kakaknya dalam keterbatasan. Dia hanya menjawab, "Mbak..." sambil meneteskan bulir air mata.
Uya meraih tangan adiknya dan membisikkan sebait doa. Dokter datang dan meyakinkan bahwa operasi berjalan lancar serta berhasil dengan baik. Ula telah melewati masa kritis dan akan menjalani masa penyembuhan intensif.
Kedua orang tua Uya bernafas lega. Mereka mendekati ranjang Ula. Ayah Ibu Uya dan Ula memandangi wajah putrinya yang berantakan akibat kecelakaan. Entah siapa yang memulai, terlihat mereka berdua sesenggukan. Menyesali yang terjadi selama ini, yang sudah mereka lakukan pada Ula, ketidakadilan dan kemarahan berlarut-larut yang mereka tunjukkan, pertengkaran demi pertengkaran yang selalu menjadi konsumsi anak-anaknya. Mereka meminta maaf dan serta merta berjanji untuk mengubah sikap. Uya merasakan kelegaan pada dirinya. Seraya memegang tangan Ula, Uya bergumam, "Mulai sekarang, kamu hanya akan bahagia. Aku yang akan bantu bikin kamu bahagia kalau nggak ada orang lain yang mau bantu. Gimana pun caranya."
--------------------------------#####--------------------------
2 minggu kemudian
Uya terlihat sedang mengantri di gerai fast food. Penampilannya sangat berbeda. Dia berhijab! Ujian meneguhkan hati untuk memilih jalan hidup yang lebih tenang telah dilaluinya lewat perantara Ula. Dia bersyukur menjadi pribadi yang mau mengambil langkah positif dalam hidupnya. Uya belajar tentang ikhlas dari Ula, dan dia pun mengikhlaskan segala kesenangan serta kepuasan hidup bebas sendirian dengan kembali pada keluarganya, menemani Ula, mengawal kedua orangtuanya agar selalu berdamai dengan masa lalunya.
-------------------------------######-------------------------
3 bulan kemudian
Ula telah sembuh total. Bekas jahitan operasi di hidungnya memang masih nampak dan akan membekas, tapi itu tidak jadi soal. Ula bersyukur untuk setiap detik umur panjang dan kesehatannya. Kembali bersyukur karena dirinya bisa melalui dan melewati yang telah terjadi dengan ikhlas. Kehidupan Ula bersama orang tua pasca kejadian kemarin pun berangsur membaik. Berkah lain datang bagi Ula. Dia mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga honorer di kantor pemerintah. Tidak banyak memang gajinya, tapi cukup bagi Ula untuk bisa menabung sendiri. Satu lagi hal baik yang datang pada Ula, jodohnya semakin dekat. Lelaki itu muncul tepat ketika Ula sedang dalam masa penyembuhan, memberikan kebahagiaan yang sejak dulu diimpikan Ula.
Ula pernah bersedih dan terpuruk. Namun sekarang, Ula bisa tersenyum lebar dan berdiri tegak berkat kesabaran yang dimilikinya. Ula meyakini bahwa semua itu adalah buah dari keikhlasan dan doa.
Ketidakberuntungan Ula saat putus kuliah, mengalami bullying, dibohongi banyak pria, dan diperlakukan semena-mena di rumah telah sirna. Berganti menjadi cerita bahagia yang siap berlanjut selamanya. Ula pernah bersedih dan terpuruk. Namun sekarang, Ula bisa tersenyum lebar dan berdiri tegak berkat kesabaran yang dimilikinya. Ula meyakini bahwa semua itu adalah buah dari keikhlasan dan doa. Kini, dia tengah memetik hasilnya. Sekeluarga, mereka mantap berseru bahwa musibah terdahulu bukanlah bencana tetapi pelajaran berharga. Bahwa akan banyak hikmah dari suatu peristiwa, dan hanya orang-orang bijak yang mampu mengambil berkahnya. Mereka berempat, sedang menuju ke arah sana. Menjemput berkah dari Yang Maha Kuasa dan bangkit kembali setelah porak poranda.
Author: FERN
0 komentar: