Apa yang kamu rasakan ketika melihat orang lain mendapatkan sesuatu yang sangat kamu inginkan namun tidak bisa kamu dapatkan? Cemburu. ...

Cemburulah, Lalu Putuskan


Apa yang kamu rasakan ketika melihat orang lain mendapatkan sesuatu yang sangat kamu inginkan namun tidak bisa kamu dapatkan? Cemburu.

Bagaimana perasaanmu ketika jalan yang dilalui teman-temanmu terlihat begitu mudah, tapi jalan yang harus kamu lewati terasa sangat sulit untukmu? Cemburu.

Bertahun-tahun yang lalu, perasaan seperti itu pernah aku rasakan. Cemburu yang melahirkan rasa malu, tidak percaya diri, ketakutan, dan akhirnya membuatku menarik diri cukup lama dari lingkaran pertemanan itu. Pertemanan yang sebenarnya sudah kuanggap lebih dari sekedar teman. Pertemanan yang lebih tepat disebut keluarga.

**

Masa putih abu-abu adalah masa paling berkesan sekaligus banyak memberikan dasar-dasar hidup untukku. Dalam tiga tahun masa itu, aku belajar untuk hidup bersama orang lain dengan berbagai karakter dan kepribadian, belajar menghargai pendapat dan perasaan orang lain, belajar untuk tidak egois, belajar berbagi, dan belajar melihat dunia dari pandangan yang lebih luas.

Aku beruntung karena diberi kesempatan untuk menikmati fasilitas yang disediakan oleh salah satu perusahaan milik negara di provinsi tempat aku tinggal. Fasilitas itu termasuk tempat tinggal (asrama), seluruh perlengkapan sekolah, bimbingan belajar tambahan, dan gizi cukup. Segala keperluan kami untuk sekolah tercukupi, mulai dari sandang, pangan,dan papan. Dengan kata lain, aku melewati masa SMA-ku tanpa mengeluarkan serupiah pun untuk sekolah.

Angkatanku berjumlah 32 orang. Dalam tiga tahun, segalanya kami lewati bersama. Bertemu setiap hari. Makan bersama tiga kali sehari. Olahraga pagi bersama. Bersepeda ke sekolah bersama. Belajar bersama. Hingga dihukum bersama karena melanggar perintah guru dan kepala asrama.

Dengan kebersamaan seperti itu, mustahil kami tidak memiliki ikatan seperti keluarga. Kami bahkan memiliki nama keluarga untuk angkatan kami. Kami membagi kebahagiaan bersama. Saling memeluk ketika kesedihan mendekati salah satu dari kami. Kami membicarakan cita-cita besar ketika kami dewasa nanti. Kami berbagi segala hal. Kami tertawa dan menangis bersama. Tujuan terdekat kami ketika itu adalah diterima kuliah di universitas-universitas terbaik di Indonesia.

Segalanya berjalan lancar dan baik-baik saja sampai suatu hari di bulan Februari 2004, kabar duka itu datang. Ayahku dipanggil Sang Pencipta. Ayahku meninggalkan aku, ibuku yang tidak bekerja, dan kedua adikku yang masih kecil. Ayahku tidak punya pensiun apalagi warisan. Saat itu aku sudah semester akhir di kelas 3 SMA. Tiga bulan lagi akan menghadapi UAN. Namun sejak saat itu, duniaku sudah tidak sama lagi. Aku dan keluargaku kehilangan penopang hidup. Cita-citaku untuk kuliah seperti menemui jalan buntu.

Akhirnya ketika lulus SMA, aku memutuskan untuk merantau ke ibukota dan mencari pekerjaan. Aku tidak ikut ujian masuk perguruan tinggi. Aku tidak punya pilihan. Aku anak pertama dan kedua adikku yang masih kecil. Ibuku tidak mungkin membiayai kuliahku. Maka dengan ijazah SMA, aku melamar kerja dan akhirnya diterima sebagai SPG di salah satu toko elektronik di sebuah mall di Tangerang.

Apa yang terjadi dengan teman-temanku? Seperti cita-cita kami dulu, mereka semua diterima di universitas-universitas terbaik negeri ini. Mereka kuliah di UI, ITB, UGM, ITS, Unpad, Undip, Unsri, STAN, STIS, dan banyak lagi. Dari 32 orang, yang tidak kuliah hanya 2 orang, yaitu aku dan temanku yang kebetulan Chinese dan meneruskan usaha keluarganya.

Lalu bagaimana perasaanku? Seperti yang kusebutkan di awal, aku cemburu. Aku cemburu pada nasib mereka yang kuanggap jauh lebih beruntung dariku. Aku marah pada keadaan yang memaksaku memotong cita-citaku demi meneruskan hidup dan meringankan beban ibuku. Aku menganggap hidup ini tidak adil. Kenapa aku yang harus mengalami semua ini?

Saat itu, aku memutuskan tali silaturahmi dengan teman-teman seperjuanganku. Aku tidak mau bertemu mereka, aku tidak membalas pesan-pesan mereka, aku memilih menyudutkan diri sendiri dan membuat diriku tidak terlihat.

Memang benar, rasa cemburu itu menimbulkan ketakutan yang membuat gila. Aku berprasangka buruk pada teman-temanku. Aku takut mereka berubah. Aku takut mereka meremehkanku karena tidak kuliah seperti mereka. Aku malu karena bekerja sebagai SPG sedangkan mereka anak kuliahan.

Setelah hampir dua tahun, aku mulai merindukan mereka. Akhirnya aku mulai berpikir kalau semua yang aku lewati pasti ada alasannya. Aku mulai belajar menerima apa yang sudah digariskan untukku. Aku belajar memupuk lagi keinginanku untuk melanjutkan kuliah dengan kemampuanku. Saat itu, kondisiku masih benar-benar sulit. Akan tetapi aku yakin suatu saat aku bisa kuliah lagi dengan uangku sendiri.


Aku memutuskan: akan aku basmi habis rasa cemburu yang membuatku jadi pengecut. Akan aku buktikan pada diriku sendiri bahwa akupun mampu melakukan sesuatu seperti yang mereka lakukan.

Ketika akhirnya aku mulai membuka diri, teman-temanku menyambutku dengan tangan terbuka dan mendorongku untuk tetap semangat. Ketakutanku tidak terbukti sama sekali. Tidak ada yang berubah. Pikiran-pikiran buruk itu hanya momok yang aku ciptakan sendiri di kepalaku.

Pada akhirnya, di sela-sela pekerjaan, aku benar-benar bisa kuliah dengan biaya sendiri. Aku mengambil kelas karyawan di akhir minggu. Aku berhasil menjadi sarjana, walaupun tidak di universitas terbaik, aku tetap bersyukur cita-citaku untuk kuliah bisa tercapai.

Aku berhasil membuat cemburu itu menjadi sesuatu yang berguna untukku, yaitu sebagai pemicu dan pendorongku agar terus maju. Dua tahun hidup penuh rasa tidak percaya diri yang berakar dari rasa cemburu, kuanggap masa kelam yang tidak perlu terulang lagi. Setelah semua itu, aku menjadi lebih kuat dari yang aku bayangkan.

**

Aku memang pernah cemburu. Terutama pada sesuatu yang dulu kuanggap tidak adil. Sesuatu yang menurut mata manusiaku tidak seharusnya seperti itu. Namun pada akhirnya, cemburu itu juga yang membuatku sadar bahwa setiap manusia membawa ramuan masing-masing ketika lahir ke dunia. Ramuan itu yang menunjukkan jalan yang harus kita lalui. Ramuan yang sudah ditakar dengan ukuran paling pas yang diisi dengan masalah-masalah dalam hidup dan kesanggupan manusia itu sendiri. Selebihnya sudah seharusnya manusia berusaha mencapai impiannya dan memiliki rasa syukur.

Tidak perlu cemburu dengan ramuan orang lain. Mereka punya masalah dan kesanggupan sendiri. Karena satu hal yang tidak bisa diganggu gugat: Tuhan tidak pernah salah meramu.


Cemburulah, lalu putuskan apakah cemburu itu akan membuatmu jatuh ke jurang terdalam, atau justru akan mendorongmu menembus tembok-tembok yang kau pikir tak bisa kau lewati.

Cemburulah, lalu putuskan.



Author : Puan Belba
Pict Source : Here

0 komentar: