“Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memiliki rencana yang matang untuk masa depan.”  Saya sempat tertonjok dengan kalimat ter...

RENCANA BESAR


“Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memiliki rencana yang matang untuk masa depan.” 

Saya sempat tertonjok dengan kalimat tersebut ketika sedang berbincang dengan dua orang teman kerja saya. Saya sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. Dulu, saya bukan orang yang suka membuat rencana-rencana. Setelah berbincang dengan kedua teman kerja saya tersebut, saya mulai memiliki rencana untuk masa depan keluarga kecil saya.

Di akhir tahun 2016, saya merencanakan segala sesuatunya untuk saya jalani di tahun 2017. Saya berencana mendaftar beasiswa, jika lolos maka tahun 2017 saya akan memulai kuliah pascasarjana saya. Kemudian tahun 2019 saya lulus, bersamaan dengan suami saya yang merencanakan masuk kuliah di tahun yang sama.

Kami akan melamar menjadi dosen di perguruan tinggi, kemudian tahun 2021 atau 2022 kami mendaftar beasiswa S3 di Inggris. Pada tahun itu, anak kami sudah siap memulai sekolah dasarnya. Sepulang dari pendidikan doktoral kami, kami akan melanjutkan hidup di kota dimana kami mengajar, tumbuh tua di sana, mempersiapkan anak kami untuk terbang sendiri ketika ia remaja.

Apa daya, belum sempat saya mendaftar beasiswa, saya positif hamil. Kehamilan yang tidak direncanakan, lagi. Sebelum kehamilan ini, saya sudah pernah hamil tanpa rencana. Namun janin saya menyusut, gagal berkembang lalu saya mengalami pendarahan. Kehamilan kali ini membuat saya berpikir keras. Bagaimana saya akan kuliah dalam kondisi memiliki bayi yang baru lahir? Karena kampus tujuan saya jaraknya jauh dari rumah. Jika saya kuliah, maka bayi saya harus dititipkan di daycare seperti kakaknya. Ini berarti saya harus membayar daycare dua kali lipat. Biaya daycare tidak murah dan saya akan sangat terbebani dengan biaya daycare untuk dua anak.

Ada pilihan tidak usah masuk daycare, namun itu berarti saya harus menjadi stay at home mom yang mana jika saya tidak bekerja maka penghasilan suami saya akan habis untuk membayar cicilan-cicilan, biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari. Kami jadi tidak bisa menabung. Kami belum memiliki rumah, jika tidak menabung, bagaimana kami bisa punya rumah?

Kemudian saya mulai merencanakan hal-hal yang menyesuaikan dengan kondisi saya waktu itu. Tidak ada yang salah dengan merencanakan sesuatu, namun kesalahan saya yang fatal saat itu adalah saya melupakan peranan Tuhan dalam hidup saya. Tuhan yang jika berkehendak hanya butuh waktu sekilat cahaya untuk mewujudkannya.

Suatu sore yang cerah, saya bersemangat untuk menemui dokter kandungan. Ini adalah jadwal USG saya yang pertama untuk kehamilan kali ini. Saya pernah mendengar bahwa Blighted Ovum, apa yang pernah saya alami di kehamilan sebelumnya, biasanya hanya dialami satu kali saja seumur hidup. Kecerahan langit sore itu ternyata tidak mewakili perasaan saya setelah mengetahui bahwa kehamilan saya kosong.

Hanya ada kantung janin berisi ketuban. Tanpa janin. Tidak ada calon bayi. Lagi dan lagi, saya harus dikuret. Malam itu juga saya menginap di rumah sakit. Tiga hari dua malam menjalani hari-hari yang mengubah pola pikir saya ke depannya. Saya kapok berencana tanpa kepasrahan. Saya kapok berencana dengan kesombongan. Saya kapok ditegur Tuhan dengan cara yang sama.

Suami saya bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sehari beberapa kali bersama anak balita kami. Mereka sungguh tangguh. Anak saya dengan ceria menciumi saya di atas kasur rumah sakit. Dia memijat lengan saya, dia tertawa dan bernyanyi tanpa rewel sedikitpun. Saya trenyuh, kami tidak punya mobil. Anak saya bolak-balik ke rumah sakit diboncengkan ayahnya naik motor. Pulang jam 12 malam, jam 9 pagi sudah kembali lagi ke rumah sakit. Jam 1 siang pulang, hujan deras, di rumah tidak ada ibunya, ayahnya sibuk membereskan rumah, memasak dan menyiapkan keperluan saya.

Suami saya tidak mengeluh sedikitpun, ia menyemangati saya yang ketakutan karena akan dianestesi. Saya takut mati. Saya takut sekali. Suami saya menemani saya sampai tiba saatnya saya dibius. Proses kuret hanya memakan waktu lima belas sampai dua puluh menit. Saya tertidur dengan bius hanya satu jam.

Saya sedikit sedih karena kehilangan bayi saya, namun saya trauma harus dikuret lagi dan lagi. Bukan karena sakitnya. Saya tidak merasa sakit sedikitpun. Namun goncangan psikologis di baliknya sungguh luar biasa.

Pertama kali dikuret adalah ketika saya mengalami pendarahan post partum saat melahirkan anak saya. Lalu setahun kemudian saya dikuret karena pendarahan saat hamil. Setahun kemudian saya dikuret lagi karena kehamilan kosong. Saya terpuruk, merasa sudah cukup saya menjalani tindakan pembersihan seperti itu lagi. Saya bercerita pada beberapa sahabat saya, mereka menguatkan saya dengan kalimat-kalimat yang positif. Namun saya tidak puas. Saya tidak serta merta bangkit. Saya merasa mereka tidak mengalami apa yang saya alami, jadi penguatan-penguatan mereka hanya menjadi semangat saya namun tidak bisa membunuh trauma saya.

Banyak air mata saya bercucuran, ketakutan saya menyeruak, kekecewaan pada diri sendiri membuat nyeri di dada. Saya tidak bersemangat hidup namun saya tidak mau mati. Saya malu pada anak saya, saya malu pada suami saya. Saya merasa takut menjalani hari-hari ke depannya. Saya takut hamil lagi. Saya takut gagal lagi.

Kemudian saya mulai melihat sekitar saya. Seorang Pak Ogah yang tuna daksa, seorang tuna wicara yang berjualan keset, anak-anak usia sekolah dasar yang membantu orang tuanya memulung, seorang suami peminta-minta yang mendorong istrinya yang lumpuh dengan gerobak bikinannya, seorang kakek tua penjual pisang yang berjualan dengan anaknya yang masih SD dan ibu saya, yang sudah menua tapi masih rajin bekerja di laundry miliknya untuk melanjutkan hidup dan mengurus bapak saya yang sudah tidak bekerja.

Tuhan membelai lembut kepala saya dengan tangan-Nya, saya disuruh-Nya melihat untuk bersyukur, saya disuruh-Nya mendengar untuk bersyukur, saya disuruh-Nya bangkit dan berbuat sesuatu untuk menggenapkan rasa syukur. Maka disinilah saya, menuliskan kisah saya yang mungkin tidak seberapa mengguncang untuk orang lain yang tidak merasakannya. Namun sungguh, mungkin ini akan menjadi penguat bagi orang-orang yang ingin bangkit dari rasa ketakutannya terhadap sesuatu.



Saya berjanji pada diri saya sendiri: saya akan menjalani hidup dengan penuh syukur, sedikit rencana dan apapun itu, tidak lupa untuk meminta Tuhan ikut turun tangan memberi yang terbaik bagi hidup saya, suami saya dan anak saya.


Author : AICHA
Pict Source : Here

0 komentar: