Rumah petak yang saya kontrak ini bersebelahan dengan rumah Teko. Saya hijrah dari Semarang ke Bekasi karena suami saya dapat kerja di Jakarta. Kami cuma punya dua koper untuk menyimpan pakaian, satu kompor usang, tabung gas pinjam, kasur bodol pinjam, TV tua pinjam, motor tahun 80an pinjam, piring dan mangkuk diberi, satu penggorengan, satu panci, satu ricecooker dan satu setrikaan. Teko baik sama saya, dia bilang tidak apa-apa punya barang sedikit, nanti lama-lama juga nambah.
Benar saja, kami mulai membeli mesin cuci, kala Teko tahu dia langsung bertandang ke rumah saya, tanya-tanya saya beli dimana, harga berapa, merk apa dan lain-lain. Saya sudah merasa agak gimana gitu tapi saya pikir mungkin itu wujud basa-basi yang basi.
Bulan berganti, saya punya Ergo Classic baru beli di teman saya. Lihat saya menggendong bayi sambil menjemur baju, Teko mendatangi saya dan berkata bahwa ia dulu ditawari temannya gendongan seperti itu tapi dia tidak beli. Dia tanya berapa harga Ergo saya, ya saya jawab apa adanya. Dia berkata kalau dia juga punya baby wrap seperti yang saya pakai sebelum punya Ergo. Saya senyumin masam.
Anak saya adalah anak yang perkembangannya lebih lambat dari anak-anak normal, saya menerima hal itu dengan baik, tapi saya masih belum bisa menerima jika anak saya dibanding-bandingkan dengan anak lain, meski jika saja anak saya lebih daripada yang lain. Ribuan kali Teko membanggakan anaknya yang sudah mahir berjalan sendiri di usia 10 bulan, yang cerewet, yang pintar dan gayanya seperti orang dewasa.
Sejujurnya secara pribadi saya tidak terlalu menghormati orang yang membanggakan anak karena alasan seperti itu. Kenyataannya anaknya Teko itu suka merebut mainan anak lain, kasar, culas, tidak mau membereskan mainan jika selesai bermain, suka minta makanan dan menghabiskan tanpa mau berbagi, juga kurang sopan pada orang yang lebih tua.
Usia anak saya bertambah namun kemampuannya belum terlalu bertambah. Kami disarankan memberinya terapi tapi saya dan suami tidak mau memaksanya menjadi normal. Maka instead of giving him fisioterapi, kami masukkan dia ke Daycare. Maksud kami adalah agar anak kami belajar berkegiatan tanpa ibunya, bersosial dengan lebih banyak orang. Belum ada seminggu anak saya di Daycare, Teko sudah ribut tanya ini itu. Berapa bayarnya, uang pangkalnya, berapa gurunya, siswanya, fasilitasnya, dan masih banyak lagi. Demi mewujudkan perdamaian dunia, saya jawab satu persatu apa adanya. Namun lama-lama kok pertanyaannya makin menggila ya? Dia tanya menu makan siang catering Daycare apa, jam tidur siangnya gimana, anak saya main apa saja, sampai suatu hari dia minta saya memfotokan Daycare dari luar bangunan yang kelihatan pagarnya, lalu memfoto kamar-kamar, tempat bermain, taman dan isi Daycare. Lah dikira saya senganggur itukah?
Saya beri tahu Teko dimana letak Daycare anak saya, jadi kalau dia mau survey bisa langsung datang. Siapa tahu anaknya mau dimasukkan Daycare. Dengan santainya dia bilang dia tidak bermaksud survey apalagi memasukkan anaknya di Daycare, dia cuma KEPENGEN TAHU SAJA.
Yaaa baiklah... Saya mulai malas dengan Teko. Untungnya saya bekerja, jadi saya bisa bertemu dia seperlunya saja. Sampai suatu hari dia bertandang ke rumah saya, melihat TV saya baru, kulkas saya juga baru, dia mulai bertanya-tanya lagi.
"TV yang lama mana?"
"Rusak Teh, meledak."
"Itu TV-nya berapa inch?"
"32 Teh."
"Sama dong kayak punya saya."
Gak nanya Teh. (diucapkan dalam hati)
"Belinya berapa tuh?"
"Satu Teh."
"Ih bercanda deh, saya nanya beneran."
"Saya juga jawab beneran Teh, ngapain saya beli TV banyak-banyak? Memangnya telur?"
"Maksud Teteh harganya berapa?"
"Ooohh harganya. Murah saja Teh, wong saya nyicil kok."
"Pakai apa? Adira? Aeon? Apa?"
"Pakai CC."
"Oh ada toh CC? Dimana? Kok saya belum pernah dengar. Saya kredit TV saya pake Adira."
"CC itu kartu kredit Teh."
"Loh kamu punya kartu kredit? Ayahnya juga mau bikin tuh, tapi ntar jadi boros. Jadi pikir-pikir dulu deh kalau mau bikin."
Maaf ya Teh, lakimu kan cuma tenaga honorer operator SMP, gajinya mana cukup buat syarat ajuin CC. Maaf banget nih Teh, kalau bicara nggak usah ketinggian ya... (diucapkan dalam hati)
"Terus itu kulkasnya juga beli pake sisi?"
"Iya Teh, saya mah mana punya duit kalo nggak nyicil."
"Gimana sih caranya bikin sisi?"
"Ke bank saja Teh, atau di mall kan sering ada salesnya tuh."
"Berapa harga kulkasnya? Tivinya? Cicilannya berapa? Terus sebulan total bayar sisi berapa dong?"
(saya jawab dengan senyuman)
Asli! Cemburu itu mengganggu. Mengganggu kewarasan pencemburu dan mengganggu kenyamanan yang dicemburu. Kecemburuan Teko masih berlanjut saat suami saya membawa motornya yang di Semarang ke Bekasi, lalu saya punya motor baru, lalu anak saya mulai bisa jalan, lalu saya pindah kontrakan ke tempat yang lebih besar.
Dicemburui terus-menerus membuat saya melabeli Teko sebagai orang yang Harga Dirinya Murah. Kenapa dia mencemburui semua hal yang saya dapatkan? Kenapa dia tidak berterima kasih pada Tuhan karena dia yang sarjana seperti saya tak perlu susah-susah bekerja untuk hidup, karena suaminya yang tenaga honorer itu pun tak perlu banting tulang sekeras suami saya agar punya rumah, karena anaknya yang pandai tak perlu merasakan hinaan dan cercaan karena perkembangannya lambat?
Cukuplah sudah menyakiti hati sendiri dengan rasa cemburu. Janganlah sampai menguras harga diri sendiri dengan cemburu.
Satu dua hal yang kita cemburui bisa memacu hal ketiga, keempat, kelima dan seterusnya untuk memantik kecemburuan selanjutnya yang tidak perlu. Saya berusaha menonaktifkan perangkat kecemburuan dalam diri saya karena saya merasa sudah khatam dengannya. Cukuplah sudah menyakiti hati sendiri dengan rasa cemburu. Janganlah sampai menguras harga diri sendiri dengan cemburu. Malu! Malu-maluin!
Author : Aicha
0 komentar: