Apa
sebenarnya penyesalan terbesar dari jatuh cinta? Mungkin para pembaca akan
menemukan jawabannya setelah ini.
Enam
belas tahun yang lalu ketika usiaku masih tiga belas tahun, aku jatuh cinta
dengan kakak kelasku yang lebih tua dua tahun diatasku. Kami bertemu ketika
ujian caturwulan yang digabung dengan kakak kelas. Cinta monyet? Mungkin saja.
Saat itu memang lagi musim-musimnya aku dan teman-teman mengagumi kakak kelas
favorit kami masing-masing. Dia adalah first
love-ku, dia sudah mengubah
hidupku. Perlahan-lahan menjadi kebiasaanku untuk mempelajari kebiasaannya dari
jauh. Kebetulan rumahnya dibelakang sekolah. Jadi aku bisa mengamatinya dengan
leluasa dari teras belakang sekolah. Pikiranku dipenuhi imajinasi tentang
dirinya, dari sinilah aku akhirnya bisa menulis cerita, puisi dan novel.
Seiring
berjalannya waktu, teman-temanku pun mulai tidak mengidolakan mereka lagi,
bahkan sebagian besar teman-temanku sudah pacaran dengan yang lain. Aku pun ada
sempat pacaran, tapi tidak pernah benar-benar suka, hanya sebentar lalu putus. Benakku
tak pernah bisa lepas dari first love-ku. Teman-temanku
akhirnya mengetahui aku yang masih bertahan menyimpan perasaan dengan kakak
kelas favoritku. Beberapa dari mereka ada yang usil membocorkan langsung ke kakak
kelasku. Aku semakin malu dan tak punya muka bertemu kakak kelasku, karena dia
sudah mengetahui perasaanku dari teman-temanku. Aku hanya bisa berdiam diri dan
bersembunyi. Setiap hari aku berdoa, jika memang dia telah tahu aku
menyukainya, aku berharap dia mempunyai perasaan yang sama dan akan
menghampiriku. Namun hal itu tidak pernah terwujud. Sampai beberapa tahun
setelah lulus SMA, dia masih membayangiku.
Akhirnya
suatu hari, aku berhasil menyingkirkan bayangannya ketika aku bertemu satu
teman kampus yang baik hati. Kami sering pulang bareng, karaoke bareng dan buat
tugas bareng. Mirip judul sinetron “Dari Temen Jadi Demen”. Aku mulai tertarik
kepadanya menjelang kelulusan, padahal kami sudah sering barengan dalam waktu
lama sejak mulai kuliah.
Aku
diliputi kebimbangan. Kini aku sudah lebih dewasa dari beberapa tahun yang lalu
sewaktu masih SMP. Aku muak harus selalu bersembunyi dan menahan perasaan. Aku
termasuk cewek yang kuno, yang menganggap cowok lah yang harus mulai “menembak”
lebih dulu, bukan sebaliknya. Cewek hanya kasih sinyal saja, sisanya tinggal
cowok yang mau menanggapi sinyal tersebut atau tidak. Tapi tampaknya sinyal
yang kali ini tidak tertangkap-tangkap, atau mungkin tertangkap tetapi dia yang tidak
menanggapi. Aku sudah tidak tahan lagi. Dengan mengambil resiko kemungkinan
tidak bisa berteman lagi, aku pun merencanakan mengutarakan perasaanku. Jika
dia juga suka, ya bagus. Namun jika dia tidak memiliki perasaan yang sama,
kemungkinannya dua. Kami akan menjauh atau tetap berteman. Disini kedewasaan
kami diuji.
Akhirnya
aku mengajaknya bicara empat mata di suatu mall. Dengan hati-hati aku memilih
kalimatku yang sudah kulatih sebelumnya untuk mengutarakan perasaanku. Aku
mengatupkan tanganku yang dingin erat-erat untuk menguatkan diri. Dan
jawabannya adalah tidak, dia hanya bisa menjadi temanku, tidak lebih. Aku tetap
tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Untungnya sejak saat itu, kami masih
bisa tetap berteman sampai sekarang. Kecewa? Tidak sama sekali. Yang ada
hanyalah kelegaan. Terlepas dia punya perasaan yang sama atau tidak, terserah.
Yang penting aku lega tidak menyembunyikan, tidak menahan sesuatu dan tidak
menduga-duga. Katakan saja dengan jelas dan semuanya beres. Hasilnya dan
rasanya tidak seburuk yang kita bayangkan selama ini. Aku pun bangga pada diriku
yang bisa melawan kekunoan yang selama ini dipercayai kaum wanita.
Suatu
hari, ketika aku dalam perjalanan pulang melewati sekolahku yang dulu, dimana
ada rumah seseorang dibelakangnya, aku hanya bisa menghela napas. Mendadak saja
bayangan first love-ku kembali.
Dadaku menjadi sesak. Aku berpikir, seandainya saja waktu dapat diputar
kembali. Aku akan mengajak kakak kelasku untuk bicara empat mata, untuk
mengungkapkan yang kurasakan padanya. Dengan begitu dia tidak perlu mendengar
dari teman-temanku yang usil, yang entah seperti apa penyampaian mereka. Aku
juga tidak perlu dihantui rasa penasaran hingga bertahun-tahun kemudian. Tidak
perlu menyimpan kegelisahan dan beban. Dan jika aku mengungkapkannya dulu, aku
tidak perlu mengalami penyesalan hingga saat ini.
Jadi
jika kamu sedang mempunyai perasaan khusus dengan seseorang, katakan saja
secara baik dan tulus. Terlepas apapun hasilnya. Just say it! Bukan untuk
siapa-siapa selain kita sendiri. "Penyesalan terbesar dalam jatuh cinta adalah kamu yang tidak pernah mengungkapkannya."
Author : Vynix Wang
Pict Source : here
0 komentar: