Sebelumnya aku tak pernah membicarakan tentang ini pada
siapapun, menyinggung tentangnya pun aku enggan. Namun setelah sekian lama
memendam perasaan tidak enak ini, kurasa inilah saatnya aku berdamai dengan
hatiku sendiri. Walaupun jujur, saat menulis cerita ini ada sakit di hati yang
datang kembali.
Setiap mengingat cerita ini, aku selalu saja menangis,
perasaanku campur aduk antara sedih, marah, kecewa dan dendam semua berkecamuk
dalam hatiku. Aku sudah memaafkannya namun hati dan pikiranku rasanya masih
jelas mengingat setiap detil rasa sakit itu. Dulu rasanya aku ingin mati saja,
aku tak kuat menahan malu apalagi menampakkan wajahku dihadapan teman-teman. Mentalku benar-benar terganggu saat itu.
Semua ini bermula gara-gara salah seorang ustadz yang salah
memasukan nilai raport madrasahku. Rasanya saat itu aku benar-benar malu,
seharian penuh aku menangis di kamar. Rayuan ayah dan ibu untuk keluar kamar
pun tak kudengarkan. Berita tentang aku yang tidak naik kelas pun sudah
terdengar di segala penjuru desa. Semua
orang kampung membicarakan tentang diriku, gelar anak bodoh pun melekat padaku.
Tiga hari lamanya aku mengurung diri di dalam rumah, tak
mau bermain ataupun sekolah. Setiap hari aku hanya melamun. Melihat keadaanku yang menyedihkan, bibi dari ibu yang juga salah seorang adik pemilik yayasan
madrasah itu mendatangi ustadz itu. Beliau meminta kejelasan tentang hasil akhir
nilai raportku karena tak ada satu pun anggota keluarga besarku yang percaya
akan nilai yang tertera di raport madrasahku itu. Walaupun aku tak menonjol di
sekolah tapi mereka yakin kalau aku tak sebodoh yang orang-orang pikir.
Ustadz itu mengakui kesalahannya, bahwa beliau salah memasukan
nilai raportku. Beliau juga mengakui kalau aku anak yang pintar. Dihadapan bibi ibuku beliau meminta maaf, namun sampai sekarang tak pernah kudapati beliau datang ke
rumahku meminta maaf secara langsung untuk mengklarifikasi tentang kebenarannya pun beliau tidak datang. Dan saat itulah kemarahanku semakin memuncak, aku menjadi dendam
padanya hingga membuatku bertekad bahwa aku akan membuatnya malu karena pernah
salah memasukan nilai raportku. Mungkin saja jika dulu beliau mau meminta maaf dan mengklarifikasi kejadian yang sebenarnya aku mau saja memaafkannya, tapi
sedikitpun beliau tak punya itikad baik untuk mengembalikan senyum seorang anak kecil berusia
sembilan tahun yang kehilangan kepercayaan diri akibat kecerobohannya.
Saat itulah kuputuskan untuk membuktikan pada semua
orang bahwa aku bukan anak bodoh seperti yang mereka kira. Prestasi demi
prestasi mulai kudapatkan, orang-orang yang dulu menghinaku perlahan mulai
menutup mulutnya. Aku cukup merasa puas akan keberhasilanku. Namun semakin lama
yang kurasa hanyalah ambisi semata.
Namun aku menyadari sesuatu. Aku tidak pernah benar-benar bahagia sebab semua kulakukan hanya demi dendam. Perlahan aku mencoba untuk memaafkan masalalu dan menerima semua
yang telah terjadi agar ilmu yang kudapatkan nanti lebih berguna. Setidaknya aku belajar satu hal :
Rasa sakit mungkin bisa membangkitkan semangatku untuk berjuang, tapi tidak memaafkan akan membuat perjuanganku tidak ada artinya.
Author : deeputril
Pict source : here
0 komentar: