Sebagai perempuan kadang aku
merasa begitu bodoh. Kok? Iya, aku sudah mengabiskan tiga tahunku yang berharga
untuk menunggu seseorang yang bahkan sampai sekarang tidak jelas keberadaannya. Kisah ini bermula
ketika aku masih kuliah. Waktu itu aku masih tingkat satu, dia mengutarakan
perasaannya padaku, begitupun aku. Pada dasarnya kami memang saling menyukai,
bahkan mungkin sejak masih SMA namun baru bisa berterus terang ketika sudah
kuliah. Jika ini terjadi pada orang kebanyakan pastilah setelah itu akan
terjadi transisi status hubungan dari teman menjadi pacar. Tapi kami—terutama dia—bukanlah seperti orang
kebanyakan. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin berpacaran dan akan langsung
melamarku jika sudah waktunya nanti. Semacam janji tanpa jaminan bukan? Walaupun
sebenarnya agak kecewa namun aku mencoba mengerti dan mengikuti cara dia.
Setelah itu, semua berjalan biasa
saja. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Tidak ada berkirim pesan, saling
menelfon,apalagi jalan berdua. Sama sekali tidak ada. Berkirim pesan hanya pada
saat- saat tertentu seprti hari ulang tahunku, ulang tahunnya dia, atau jika
ada sesuatu yang memang penting untuk dibicarakan (tapi ini sangat jarang
sekali).
Waktu terus berlalu, tahun pun
sudah berkali- kali berganti namun aku masih begitu- begitu saja. Sabar
menunggu dia. Aku juga tidak mengerti bagaimana bisa aku begitu percaya dan
setia pada janji yang tidak pasti itu. Rasanya aku iklas begitu saja menutup
hati untuk lelaki selain dia. Sebenarnya jika aku mau, mudah saja bagiku untuk
berpaling dan pergi bersama yang lain. Secara fisik walaupun tidak begitu
semampai tapi wajahku lumayan cantik, isi kepalaku juga tidak begitu
mengecewakan jadi sangat memungkinkan untuk diajak berdiskusi ataupun sekedar
haha hihi. Namun aku begitu gigih
mempertahankan perasaanku untuk dia. Tidak peduli pada laki- laki lain yang
mencoba untuk mendekatiku, bagiku :
jika aku harus punya pacar, itu harus dia. Harus, karena hanya dia yang paling sempurna untukku. Tanpa komproni.
Aku telah mengabdikaan diri pada
penantian yang entah sampai kapan. Berjuang
mati- matian menjaga keutuhan hati, merawat perasaan yang terkadang nyeri kesakitan
karena terlalu lama menyimpan rindu sendirian. Dia? Ah, bahkan aku tidak tahu
apakah dia pernah sekali saja merindukanku. Namun cinta memang menyebalkan
bukan? Ia akan terus hadir bahkan ketika kita tidak menginginkannya.
Hei, jangan dikira aku tidak
pernah mencoba untuk pindah ke lain hati ya. Tahun lalu—yang itu artinya tahun
kedua penantian-- aku pernah mencobanya, sungguh ! hasilnya? Ah, tentu saja,
gagal. Hal itu seperti meyakinkan diriku bahwa sepertinya aku memang tidak bisa
membuka hati untuk orang lain. Dan setelah kejadian itu aku kembali melanjutkan
pengabdianku pada penantian tiada ujung itu.
Waktu memang guru terbaik. Akhir-
akhir ini aku mulai tersadar akan penantianku yang terkesan sepihak selama ini.
Aku terlalu terobsesi untuk memiliki dia yang kuanggap paling sempurna hingga menutup mata pada kesempatan- kesempatan yang
lain—bahkan sebelum aku benar- benar mengenalnya--. Terlebih jika penantian itu
adalah penantian yang sepihak, maka jelas sudah itu seperti mencari jarum di
tumpukan jerami. Percuma, sangat- sangat menyiksa hati dan tidak berfaedah.
Lalu, mulai saat ini aku akan
mulai berbenah. Sudah cukup hati ini terbengkelai. Akan kutata kembali hatiku, membongkar dan
membuang apa yang memang tidak perlu. Menyusun dan merapikan segala sesuatu
sesuai pada porsi dan tempatnya. Jangan lagi ada kesia- siaan. Memulai lagi
semua dari awal.
Aku tidak tahu siapa yang kelak
akan mengisi hati ini, tidak tahu pula kapan pastinya hati ini akan kembali
berpenghuni. Namun untuknya aku sudah menyiapkan diri. Selamat datang cinta
baru, maafkan aku baru bisa membuka pintu hatiku untukmu.
Author : Auroraa
Pict Source :
0 komentar: