Kisah Cinta

Jatuh cinta itu ternyata mirip cokelat ya, ada manis ada pahit juga. Mungkin manisnya kita senang ketemu dengan orang yang mencintai kita, menerima kita apa adanya. Pahitnya, bila kisah cinta itu kandas di tengah jalan dengan alasan-alasan yang sangat tidak masuk akal.

Ternyata lelaki punya seribu alasan buat memutuskan ya.

Disini saya mau mulai bercerita, beberapa tahun yang lalu... saya dikenalkan sama seseorang oleh sahabat. Perkenalan kami yang cukup singkat, pendekatan yang terus menerus membuat saya menerima dia. Iya, dia lelaki yang emang tipe saya banget. Tidak dipungkiri, saya pun akhirnya luluh juga. Akhirnya kita menjalin hubungan, nama nya jatuh cinta segala nya terasa indah awalnya.

Banyak hal yang ternyata kita cocok banget, dia selalu bisa mengimbangi saya yang kadar kebawelannya bisa bikin darah tinggi. Dia selalu sabar, kalau saya lagi ngomel. Dia selalu ada disaat saya butuh. Ah ternyata jatuh cinta itu membuat kadar bahagia saya meningkat.

Support dan apapun dia berikan, dengan senang hati saya pun semakin jatuh cinta. Yang awalnya saya hanya memberikan 25% hati, mau tidak mau hati saya 75% dia ambil. Perjalanan panjang, merangkai mimpi bersama, dan rencana-rencana masa depan yang kita rangkai.

Terlalu banyak hal yang dia berikan, di beberapa bulan kebersamaan kita. Kepercayaan yang selama ini dibangun, terkadang sedikit demi sedikit tercoreng oleh kecemburuan. Iya, saya posesif dan batas cemburu saya sangat besar. Manusia ternyata batas kesabaran nya tidak bisa luas.

Disaat tuntutan tentang kepercayaan ini berkurang, akhirnya boom besar itu meledak. Cekcok kecil selalu berlanjut, mengalah. Ya akhirnya saya mengalah sama keadaan. Keadaan yang akhirnya membuat lapisan udara disekitar saya terengut. Saya sesak, ternyata ini akhir dari segala nya.

Iyah, akhirnya hubungan saya berakhir juga. Entah di bulan keberapa. Ternyata pahit nya jatuh cinta, saya rasakan juga. Sakit hati yang ditorehkan, sungguh sangat membekas. Mulai nya saya masih berharap kita bisa kembali bersama, ternyata itu tidak mungkin. Awal-awal saya bangkit ternyata sangat susah, saya meratapi terus. Banyak yang terlintas di otak saya, salah apa? Apa selama ini saya emang menyusahkan dia. Apa cinta dia tidak tulus? Pertanyaan jelek selalu berkeliaran.

Tiba-tiba saya menjadi orang yang negative thinking, mungkin selama ini dia cuman kasihan sama saya. Dan juga ternyata dia tidak bisa nerima saya apa adanya, ya saat ini saya sedang sakit. Mungkin itulah yang menjadi bebannya, saya yang serba kekurangan ini tidak bisa dia pamerkan kepada sahabat dan yang lain nya.

Itulah yang ada di benak pikiran saya, saya yang ini... saya yang itu... Selama beberapa bulan selalu itu, sampai titik dimana saya lelah meratapi diri saya sendiri. Saya kurang bersyukur dengan keadaan, saya lupa kalau dia pergi meninggalkan saya ternyata itu takdir yang emang harus di hadapi. Saya lupa, ternyata cinta emang tidak harus memiliki. Disaat drop dengan keadaan, sahabat dan keluarga selalu ada di barisan terdepan untuk support. Mereka selalu menjadi bahu sandaran. Ah saya ternyata menyia-nyiakan waktu beberapa bulan kemarin. Tapi kalau saya tidak begitu, saya tidak akan belajar tentang patah hati.

Ya, jatuh cinta sepaket dengan patah hati. Orang mungkin mikir, cari lagi aja orang baru buat pengganti. Bisa sih, cuman ya terkadang kita butuh waktu untuk menyembuhkan luka tersebut. Agar si orang baru ini bukan hanya pelampiasan sementara. Pas saya tulis kisah ini, saya sudah bener-bener move on. Mantan saya juga udah nikah.