Saya akan menceritakan petualangan iman saya. Perjalanan seorang yang sempat tersesat. Hingga akhirnya tahu arah jalan pulang. Ber...

Pencarian





Saya akan menceritakan petualangan iman saya. Perjalanan seorang yang sempat tersesat. Hingga akhirnya tahu arah jalan pulang. Berikut kisah saya.
Hidup di lingkungan beragama, tidak serta merta menjadikan saya sebagai pribadi beragama yang instan. Masih banyak sekali proses hidup yang harus saya jalani untuk menemui titik cinta saya pada Allah. Adalah saya, bocah yang terlahir dan besar dengan mencolok daripada keluarga besarnya. Saya adalah gadis yang dulu prihal gendernya sering kali diragukan. Saya adalah gadis yang dulu sempat menjadi titik cemoohan keluarga karena saya yang paling terlihat seperti bukan keturunan Bu Nyai akibat tingkah saya lebih condong mirip laki-laki.
Suara saya yang lantang, sikap saya yang pemberani, jiwa pemberontak saya yang mendaging menjadi beberapa celah orang lain yang seolah berhak mencela orang tua saya sebagai hitungan orang tua yang gagal dalam mendidik anak. Tapi alhamdulillah Umi dan Abi sabar menghadapi itu semua. Mereka percaya bahwa anak yang telah mereka ciptakan dengan cinta, kelak akan menemui jalan berpulangnya di waktu yang tepat. Ya, saya memang terlahir berbeda dari saudara-saudara saya. Bahkan saya lahir masih terbungkus dengan ari-ari, sehingga Bidan harus menggunting terlebih dulu untuk mengetahui bahwa saya terlahir lengkap tanpa cacat. Kemudian tumbuh menjadi bocah yang suatu hari pernah menenggak formalin di rumah seorang saudagar ikan yang saat itu saya menunggui Umi yang tengah berbincang dengan sang saudagar, saya pun memilih untuk bermain dengan putranya. Lalu saya kelelahan berkejaran dan merasakan haus. Sang saudagar menunjukkan air gentong di samping rumah utama, kemudian Umi melihat sebuah botol air mineral, sehingga Umi lebih memilih botol air mineral untuk dihidangkan pada bibir saya.
Tiba-tiba leher saya tercekat, lidah saya menggulung, mata saya membelalak, wajah saya membiru. Umi mencecapnya setetes demi mengetahui cairan apa yang telah ia suapkan pada anaknya.
“Beruntung, Ibu cepat membawanya kesini. Kalau terlambat sedikit lagi saja putri ibu bisa saja mengalami kebisuan.” Tukas sang Dokter. Alhamdulillah Allah selalu beri saya cobaan tak terlupakan sebagai luapan kasih sayang-Nya pada saya dan keluarga.
Kemudian saya meremaja di pesantren  Jombang. Menjadi santri putri yang di sekolah kerap kali dipanggil guru BP, yang ketika di asrama di panggil pihak kamtib (keamanan dan ketertiban) lantaran sering membolos dan kabur dari asrama. Tidak apa-apa, saya bangga hidup dalam tubuh saya yang nakal. Setidaknya kejadian-kejadian ini nanti menjadi cerita jenaka yang bisa disampaikan kepada anak cucu, bahwa orang tua mereka tetaplah manusia yang tidak sempurna, dan jangan pernah takut dewasa karena hidup bisa dimanipulasi menjadi kelucuan yang riang.
Lalu tiba masanya saya mengenyam pendidikan  di sebuah Universitas swasta di Malang, saya mulai giat mencari jati diri. Ya, di usia dua puluhan rasanya hidup begitu menyedihkan, di dunia nyata dikellilingi banyak teman, namun sesungguhnya hati teramat kesepian. Suatu saat saya mulai terhasut teman karib saya yang tidak berjilbab, saya pun mencopot jilbab saya yang sudah sempurna menutup helai-helai rambut selama enam tahun lamanya. Banyaknya kegiatan kuliah, jadwal main, dan juga jadwal nongkrong saya yang tak keruan dengan beragam teman organisasi dan teman dari beragam kalangan. Hingga terkadang saya menghabiskan waktu di tempat ngopi hingga pukul tiga dini hari. Sholat saya mulai bolong-bolong, sampai saya tinggalkan secara sempurna selama dua tahun.
Saat itu dalam benak saya adalah, “saya tahu jalan pulang. Jadi santai saja.” Padahal saya pun saat itu tidak tahu usia saya akan berakhir kapan, namun puji syukur lagi, Allah masih beri saya kesempatan hidup sampai bisa menuliskan masa kelam saya saat ini. Titik buruk yang saya tidak pernah berani sentuh hanyalah zina dan khamr. Karena saya tahu dan ingat persis hadits mengenai keduanya. Meski sudah akan melanggarnya, entah kenapa tubuh yang dipenuhi dosa ini masih memiliki otak yang mampu mengiang ucapan ustadz tentang perih neraka jika saya melakukannya, lalu saya urungkan. Alhamdulillah.
Allah masih mencintai saya, sehingga saya sempat ditumbuhi rasa malu saat suatu hari saya dipertemukan dengan kakak kelas saya yang jauh lebih nakal daripada saya, yang pernah berzina, yang pernah menenggak minuman memabukkan datang dengan berjilbab besar. Wajahnya teduh, sejuk, lalu senyumnya yang masih kuingat saat itu begitu manis semanis kurma.

“Apa sih yang tidak bisa kita syukuri dari semua yang diberi Allah Dek? Mata berkedip, jantung berdetak, paru-paru mengolah oksigen dan ajaibnya kesemuanya tanpa perintah. Bunga-bunga anggrek masih sempat diberi corak. Kesemuanya. Kita ini kerdil Dek, tidak ada apa-apanya. Apa yang harus kita nikmati di dunia ini jika menjauh dari Allah?”

Saya menangis meratap di pangkuannya. Sesak menjalar di sepenjuru dada. Rasanya dosa sudah begitu menumpuk di paru-paru. Deras air mata terus meretas pedih, rasanya malu karena terlalu lama menjauh dari Allah. Rasanya malu karena tidak tahu diri di depan penciptanya. Saat itu juga saya melakukan shalat dzuhur di masjid kampus. Karena terlampau malu saya sholat dengan memejamkan mata, seolah saya merasai para malaikat yang mencatat sedang memerhatikan saya dengan awas. Ya Allah, hamba pulang dan jangan biarkan hamba keluar lagi.


Author : Kumay Marzuki
Pict Source : Here

0 komentar: