
Sejak kecil aku memang sudah berbeda seratus delapan puluh derajat dari kakak perempuanku. Bukan hanya umur yang jauh lebih muda dibawahnya, tapi segala halnya aku jauh dibawahnya. IQ, EQ dan kemampuan akademi lainnya. Tidak jarang orang membanding-bandingkan kami, bahkan guru kami juga (ini lah kesalahan sistem pendidikan jaman dulu menurutku), setiap kepandaian diukur dengan parameter matematika. Mungkin mereka bermaksud baik untuk memotivasi diriku, tapi caranya terlalu ekstrem. Aku sudah mengalami tekanan itu sejak usia enam tahun. Aku marah kepada mereka yang membanding-bandingkan kami. Namun aku lebih marah kepada diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa seperti dia?
Aku sama sekali tidak pandai. Sejak TK hingga SD aku tidak diperhitungkan sebagai anak pandai diantara teman-temanku. Para guru sudah frustasi bagaimana caranya harus mengajarkanku. Sedikit lagi aku hampir tidak naik kelas. Aku sudah terlanjur memercayai perkataan mereka, aku bodoh dan kakakku lah yang pintar. Aku sudah bodoh toh mau apalagi? Aku frustasi dan menangis.
Untungnya hal itu tidak luput dari perhatian kedua orang tuaku. Kebetulan aku suka nonton film kungfu Pendekar Pemanah Rajawali. Waktu itu Papa lah yang menasehatiku. Si tokoh utama film Pendekar Pemanah Rajawali bernama Kwee Cheng adalah orang terbodoh diantara teman-temannya. Diajari kungfu apapun, teman-temannya dengan cepat menguasainya, sementara Kwee Cheng tidak ada kemajuan. Namun karena Kwee Cheng penyabar, tidak mudah putus asa, ulet dan terus tekun berlatih, pada akhirnya kungfunya lah yang paling jago diantara teman-temannya bahkan lawan-lawannya. Papa menjelaskan dengan contoh yang sederhana dari film kesukaanku, tapi itu cukup menghentakkan kesadaranku dengan usiaku waktu itu kira-kira sembilan tahun. Beberapa hari kemudian aku menghampiri Mama, yang sudah mau mencarikan guru les privat untukku agar bisa memperbaiki nilai-nilaiku sesuai saran para guru. Aku tahu situasi keuangan kami saat itu sangat lah sulit. Aku tidak mau juga membebani Mama dengan pengeluaran tambahan untuk membayar guru les privat. Aku bilang pada Mama, “Aku bisa, Ma. Tidak usah cari guru les.”
Aku pun mulai belajar tekun. Setiap hari membaca, sabar dan tidak mengeluh. Perlahan-lahan nilai-nilai ulanganku membaik. Akhir Caturwulan II kelas 4 SD aku bahkan berhasill meraih peringkat 2 besar. Hal yang mencengangkan para guru termasuk diriku sendiri. Sejak saat itu, aku terus tekun, dengan otak pas-pasan, aku hanya harus berusaha sedikit lebih keras dibanding dengan teman-teman lainnya. Aku pun mulai diperhitungkan sebagai anak yang pandai hingga lulus SMA tidak pernah keluar dari peringkat 5 besar.
Ilmu Pendekar Pemanah Rajawali itulah yang terus terpatri di benakku hingga saat ini setiap kali aku merasa putus asa. Ilmu itu tidak pernah pudar, selalu membuktikan keampuhannya. Bahkan pada saat mengikuti training kepabeanan, aku adalah murid terlemah di kelas, pengalamanku mengenai kepabeanan sangat minim dibandingkan dengan teman-temanku yang sudah ahli di lapangan. Akan tetapi saat ujian akhir, aku langsung dinyatakan lulus pada kesempatan pertama. Teman-temanku yang sudah ahli di lapangan bahkan ada yang belum lulus hingga saat ini sudah ketiga kalinya ujian.
“Hard work beats talent when talent doesn’t work hard.”
Jadi tidak perlu minder hanya karena kamu tidak pandai. Kamu hanya perlu sedikit berusaha. Belum tentu yang pandai yang menang. Orang yang berusaha dan ulet lah yang menang. Tuhan pasti akan membukakan jalan untuk orang yang berusaha. Kamu sendiri mungkin akan terkejut dengan hasilnya.
Author : Vynix Wang
Author : Vynix Wang
Pict Source : Vynix Wang
0 komentar: