Perasaan takut adalah satu-satunya bentuk emosi yang paling sulit kuungkapkan dengan kata-kata. Saat bahagia, dengan mudahnya aku bisa membuat kalimat pengandaian untuk menunjukkan bahwa aku sedang bahagia. Kalimat, “Rasanya tuh kayak dapat durian runtuh,” atau “Ya ampun... rasanya kayak lagi menang undian,” akan langsung terucap begitu saja. Yang berlawanan dari itu, perasaan sedih juga mudah kuungkapkan.
Akan tetapi perasaan takut...
Kuputuskan untuk mengungkapkannya lewat tulisan ini.
Aku memiliki rasa takut yang berlebih pada beberapa hal. Dua diantaranya adalah pada si kaki delapan laba-laba dan angka. Aku menemukan rasa takutku pada laba-laba saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Salah satu teman sekelasku menakut-nakutiku dengan laba-laba mainan yang terbuat dari karet. Mainan yang dijual pedagang asongan di depan sekolah kami. Saat ia melempar laba-laba itu ke wajahku, aku menjadi pucat seketika (saat menuliskan ini aku berusaha mengingat apa yang terjadi setelah kejadian itu, tapi aku benar-benar lupa karena yang jelas teringat justru laba-laba berwarna hitam dengan kaki-kakinya yang besar). Sejak saat itu aku sangat membenci laba-laba. Suatu waktu aku pernah menemukan seekor laba-laba sebesar telapak tanganku sedang “santai” dengan merentangkan kaki-kaki besarnya yang berbulu di dinding kamar mandi. Radar rasa takutku menyala seketika. Mulutku terkunci diam seribu bahasa, tapi tanganku berhasil menghabiskan setengah bak besar air untuk mengusir laba-laba itu pergi. Pupus sudah harapanku untuk mandi dengan tenang, mengingat aku masih saja terngiang betapa besarnya laba-laba itu. Dan bulu-bulunya...
Ketakutanku yang lain, angka. Pengalaman sejak sekolah dasar rasanya memang punya dampak yang sangat besar. Saat aku tidak bisa mengerjakan soal matematika yang diberikan guruku, beliau menyuruhku untuk berdiri di depan kelas sambil memegang kedua telinga. Temanku mendapat hukuman yang lebih buruk saat tidak mengerjakan tugas sekolah. Guru kami menyuruh temanku itu untuk merangkak mengelilingi kelas setelah lubang hidungnya diolesi dengan balsem. Sejak hari itu kepalaku sangat sakit setiap kali melihat angka-angka bertebaran di buku maupun papan tulis atau dimana saja. Aku akan sangat tertekan setiap kali melihat angka. Wajah ibu guru, kemarahannya, soal-soal matematika, angka-angka yang bertebaran seolah mengolok-olokku tanpa ampun.
Selalu ada yang lebih besar dari yang besar. Perasaan takutku pada hal yang satu ini kini sudah tumbuh besar. Dulu ia sangat kecil sampai hampir tak kusadari keberadaannya. Akan tetapi ia ada dan aku mengakuinya.
Namanya Kesepian.
Mempunyai lima kakak dan satu adik nyatanya tidak cukup membuatku terhindar dari kesepian. Waktu-waktu mereka diisi dengan sekolah dan bekerja. Karena itu sejak kecil aku tidak punya teman bermain. Aku tidak tahu bagaimana rasanya dibimbing mengerjakan tugas-tugas sekolah. Sementara perhatian bapak dan ibu sepenuhnya tercurah pada si bungsu yang saat itu masih sangat kecil.
Aku sudah mengenal kesepian sejak lama. Waktu itu kami masih sama-sama kecil, dan karena kekosongan yang sama akhirnya kami saling menerima.
Aku dan kesepian. Kami sering mengisi kekosongan dengan membaca buku, koran, atau apa saja. Kadang bernyanyi sekena hati, kadang bermain di tambang batu. Pernah suatu waktu kami tidak melakukan apa-apa selain menangis sejadi-jadinya. Tidak ada yang memukul atau memaki, tapi rasanya sakit sekali menikmati diri sendiri, tidak ada yang mengajak bicara karena semuanya pergi. Rasanya benar-benar kosong. Pedih. Rasanya hanya aku seorang diri yang tinggal di bumi ini. Seperti seseorang yang sangat linglung, tidak tahu hendak apa dan kemana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian seiring waktu yang berjalan, aku dan kesepian terpisah sementara karena hadirnya fatamorgana bernama Teman. Sekolah menengah dan cerita-cerita di dalamnya menjauhkan aku dari kesepian untuk sementara.
Bertahun-tahun kemudian, aku disini. Sekarang, aku menuliskan rasa takutku sebagai bagian dari terapi yang kuterapkan pada diriku sendiri. Beberapa waktu lalu kesepian datang padaku lagi. Tanpa apa-apa, kosong seperti biasa. Aku rasa ia datang tepat waktu mengingat musim penghujan telah tiba. Kemarin saat hujan jatuh dengan tergesa-gesa, aku dan kesepian bernostalgia. Kami memandang ke luar jendela lalu menangis secukupnya. Entah terkenang apa. Setelah lama tidak bertemu, aku memberikan kesepianku sebuah gelar (yang mungkin tidak terhormat baginya).
Ketakutanku yang paling besar. Itu gelar untuk kesepianku. Setelah berpikir banyak dan terapi, juga kalkulasi atas semua rasa takutku (terlebih pada rasa kesepian), aku membuat kesimpulan untuk diriku sendiri. Mungkin perasaan takutku ini bisa hilang dengan cara mendobrak alam bawah sadarku atau dengan hipnosis cara halusnya. Mungkin seseorang atau sesuatu bisa mengambil rasa takut yang bersemayam di alam bawah sadarku. Rasa takut yang hadir berkat trauma dan pengalamanku di masa lalu. Tetapi bukan itu poin pentingnya.
Mungkin perasaan takutku ini bisa hilang dengan cara mendobrak alam bawah sadarku atau dengan hipnosis cara halusnya. Mungkin seseorang atau sesuatu bisa mengambil rasa takut yang bersemayam di alam bawah sadarku.
Sumber-sumber rasa takut itu akan tetap ada. Laba-laba, angka, juga kesepian. Aku akan terus menemukan mereka. Aku tidak akan berlaku bodoh dengan berpura-pura menganggap diriku sudah lebih berani atau menunjukkan pada orang lain bahwa aku sudah takut lagi. Kepura-puraan hanya akan membuatku merasa semakin kelelahan karena sudah membohongi diri sendiri. Karena betapapun aku mengaku berani sebenarnya aku tetap merasa takut.
Penerimaanku pada rasa takut yang besar ini sudah kujalani selama umur yang kumiliki sekarang. Aku menerima rasa takutku. Kadang-kadang aku berusaha keras menghadapinya. Aku yakin perasaan takut itu akan tetap ada, tetap besar. Aku hanya harus mencari pengalih atau melakukan sesuatu yang lebih besar dari ketakutanku sendiri.
Terapi penerimaan ini tidak akan pernah benar-benar berhenti. Sebab hidup juga tidak bisa menunggu kita untuk mampu, meskipun hanya satu detik.
Author : Anka
Pict Source : Here
0 komentar: