Kami berdua tak pernah satu sekolah, bahkan kami baru bertemu ketika aku menjadi penyiar pelajar di sebuah radio swasta di kotaku. Kala itu aku sudah kelas 3 SMA, dia juga. Leana namanya. Dia gadis yang sangat cantik mempesona. Tinggal di kota kecil membuatku tidak banyak bertemu dengan orang-orang yang cantik. Leana berayah orang Arab, namun sepeninggal ayahnya, ibunya menikah lagi dengan seorang bule Eropa. Wajah Leana didominasi rasa Arab, dengan hidung yang mancung, rambut lurus yang selalu ia jaga sepanjang pinggang, mata bulat tajam, bibir tipis dan wajah yang tirus. Kontras sekali denganku yang gadis Jawa tulen. Aku tak setinggi Leana, tak secantik Leana, tak semempesona dia. Kacamataku tebal, wajahku bulat, kulitku cokelat tua dan keluargaku tidak kaya seperti Leana.
Bagiku, Leana adalah sosok yang sempurna, sesempurna persahabatan kami yang tanpa cela. Dia selalu bisa mengerti aku. Aku yang broken home, aku yang tidak terlalu pandai siaran dan aku yang tak seberani dia dalam melangkah. Entah mengapa, suatu hari Leana pernah berkata, “Untung kita dipertemukan oleh Tuhan ya Ndre, aku jadi nggak merasa sendiri. Walaupun kita beda dikit lah, aku yang punya bapak banyak sementara kamu punya ibu banyak. Tapi ya Ndre, aku pengen jadi kayak kamu. Yang cantik, pintar, berprestasi, hidup di keluarga berpendidikan, baik pula. Aku bersyukur banget punya sahabat kayak kamu.”
Padahal Leana-lah yang sebetulnya sangat berharga bagiku. Ia sangat feminim, beda dengan aku yang cuek pada penampilan. Leana mengajariku memakai high heels, memoles muka dengan make up, berpakaian seperti perempuan dewasa, berjalan dengan cara yang baik, mengasah percaya diri dan yang paling penting ia mengajariku menghargai dan mensyukuri hidup.
Kamu pasti tahu bagaimana rasanya jika suatu hal buruk menimpa orang yang sangat berharga bagimu! Kamu pasti tahu bagaimana rasanya jika orang yang sayang terkoyak habis! Rasanya dunia kita pasti ikut hancur, ikut jatuh, ikut terkoyak bahkan hilang ditelan entahlah. Malam itu, aku masih sangat ingat, sekitar jam setengah tujuh Leana menelponku. Suaranya lirih dan bergetar. Aku tahu ia sedang menangis.
“Andrea.... Andrea....,” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Tak tahu harus berbuat apa, aku hanya diam menantinya melanjutkan kalimatnya. Setelah jeda yang cukup lama untuknya mengatur nafas, ia mulai bersuara, “Aku diperkosa.”
Kami masih SMA waktu itu. Kami masih kelas 3. Aku punya pacar, diapun punya. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku tahu, Leana memang orang yang mandiri, dia tak selalu kemana-mana bersama pacarnya. Tapi apa yang terjadi sampai pacarnya tak bisa mengantarnya? Pacarnya punya mobil. Pacaranya orang kaya. Pacarnya adalah anak seorang pejabat di kotaku. Ada kemarahan yang meluap di dadaku. Panas sekali rasanya. Aku tidak mengalaminya, tapi aku tak bisa merasakan pedih yang lebih dari ini. Saat itu kupikir lebih baik jika aku yang mengalaminya saja, asalkan jangan Leana. Jangan dia!
“Siapa yang berani gituin kamu?” kutanya dengan suara lirih namun tegas. Leana masih mengatur nafasnya, kemudian ia melanjutkan, “Kukasih tahu tapi kamu janji jangan pernah benci sama dia. Jangan kamu musuhi dia.”
“Hah? Kamu gila apa gimana sih!” belum sampai aku melanjutkan makianku, Leana menyebutkan sebuah nama. Nama yang membuatku terdiam, hampir gila. Nama yang dimiliki oleh pacarnya sendiri. Aku masih tidak mengerti, kenapa pacarnya melakukan itu pada Leana. Aku tak pernah bertanya karena terlalu takut pertanyaanku justru yang akan merobek kepercayaan diri Leana.
Bulan berganti, kami sudah resmi lepas dari SMA. Leana mendaftar di salah satu universitas swasta di Solo, sementara aku bingung memilih mau kuliah dimana. Sebelum aku ujian nasional, tiga universitas negeri mengirimiku surat tanda aku diterima tanpa tes. Leana tak berhenti memujiku dan mengungkapkan betapa ia ingin berkuliah denganku saja. Kemudian kami berpelukan lama sekali sebelum benar-benar tinggal di lain kota.
Beberapa bulan berlalu, aku kuliah di Semarang, Leana di Solo. Kami tak pernah bertemu, jarang berkomunikasi lewat telepon pula. Sampai suatu hari Leana mengirimiku pesan singkat, menanyakan alamat kosku. Setelah kuberi, selang dua hari dia menemuiku. Kaget tentu saja. Ia tak membawa banyak baju, namun ia membawa banyak cerita.
Melihat badannya yang makin kurus, aku takut ada hal buruk terjadi padanya. Aku takut Leana mendatangiku karena ia merasa hanya aku yang bisa merasakan kepedihannya. Aku takut Leana kenapa-kenapa. Dan benar. Ia hamil. Kejadian pada waktu itu tak membuatnya putus dengan pacarnya. Mengetahui ia hamil, pacarnya bersedia menikahinya. Namun tak disangka, ayahnya yang seorang pejabat terkenal itu tidak mau berbesanan dengan keluarga bule. Memang di kotaku bule tidak dianggap lebih tinggi daripada orang pribumi. Mungkin berbesanan dengan bule tidak pantas untuk pejabat atau bagaimana, aku tidak tahu. aku cuma tak habis pikir betapa tega keluarga itu pada Leana. Belum lagi tuduhan Leana mengandung anak lelaki lain. Pusing aku mendengarnya.
Apa yang sudah terjadi pada Leana selalu menghantuiku. Aku takut akan hal yang tidak pernah menimpaku. Aku takut akan hal yang tidak pernah kurasakan.
Author: Andrea
Pict Source: Here
0 komentar: