Ada sebuah kisah mengerikan yang menimpa dua sahabat terbaikku, di tempat dan waktu yang berbeda.
Sebut saja mereka Arya dan Sansa. Dua-duanya perempuan dan bukan kakak beradik. Tahun 2011, Arya kehilangan laptop barunya. Kala itu ia sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya di kamar kos. Karena ingin kencing, ia meninggalkan laptopnya begitu saja di kamar. Kamar kos Arya ada di dalam sebuah rumah, namun ada satu jendela yang merupakan jalur udara dari kamar menuju keluar. Tidak sampai lima menit Arya ke kamar mandi, laptopnya sudah hilang. Kalau bukan dicuri orang, tak mungkin ia lupa menaruhnya dimana.
Laptop itu baru berusia beberapa hari, namun mungkin bukan rezekinya Arya untuk memilikinya, maka Arya berusaha ikhlas melepas. Tak ada yang dituduh, tak ada yang dicurigai. Arya melanjutkan hidupnya dengan perasaan yang masih sedih dan kalut. Sore itu ia mengunjungi spot dimana ayahnya meregang nyawa dalam sebuah kecelakaan minibus beberapa tahun silam. Ia menyendiri di tempat itu sembari merenung. Arya kangen ayahnya.
Rupanya dari tempat yang tidak terlalu jauh, ada seorang lelaki berusia matang mendekatinya, mengajak bicara lalu entah kenapa mereka bisa akrab. Arya menceritakan alasannya berada di pinggir jalan raya antarkota yang ramai itu. Ia pun bercerita tentang laptopnya yang hilang dalam sekejap. Bapak tersebut pun membuka suara. Beliau ingat anaknya. Anaknya mungkin seusia Arya jika masih hidup. Meninggal karena sakit beberapa tahun yang lalu, anak gadis yang Bapak tersebut sayangi masih saja menghantui beliau setiap hari. Mari kita sebut beliau Pak Nganu.
Singkat cerita, Pak Nganu merasa melihat sosok anaknya pada diri Arya, mereka pun bertukar nomor ponsel dan rajin bertegur sapa via jaringan. Pak Nganu sangat baik pada Arya, beliau bahkan menawarkan Arya laptop yang baru atau motor agar Arya bisa leluasa bepergian tanpa takut kehabisan bis. Arya menolak, memang Arya yang kukenal bukanlah perempuan matre yang suka barang gratisan.
Kedekatan Arya dan Pak Nganu sudah sekitar dua bulan. Kala itu Pak Nganu bertandang ke kos Arya dan berkata bahwa kos Arya ini “hawanya tidak enak”. Beliau menambahkan bahwa laptop Arya yang hilang pada waktu itu bisa jadi melibatkan sentuhan ghaib. Tanpa diminta, Pak Nganu datang lagi keesokan harinya, membawa beberapa butir telur yang sudah ia doakan atau apalah itu. Telurnya ditaruh di dalam kamar Arya, tempat laptopnya hilang. Kata Pak Nganu, telur itu tidak boleh disentuh atau dipindah tempat sampai waktu yang ditentukan. Entah tiga atau tujuh hari aku lupa.
Arya yang waktu itu sudah punya laptop baru lagi, sebetulnya sudah merasa ikhlas dan tidak perlu mengungkit hal yang sudah-sudah. Hanya untuk menghormati Pak Nganu saja maka ia tidak menghentikan usaha Pak Nganu untuk mengusir hawa ghaib yang entah apa itu.
Setelah beberapa hari berlalu, Pak Nganu datang lagi ke kos Arya. Dipecahkannya telur-telur itu. Tanpa disangka, di dalamnya terdapat gumpalan rambut dan beberapa benda tajam. Kata Pak Nganu, ini sudah masuk level luar biasa parah. Maka sore itu juga Pak Nganu mengajak Arya untuk semedi. Dengan tergesa-gesa, Arya mengemasi barang-barangnya. Pak Nganu mengingatkannya untuk tidak meninggalkan barang berharganya di dalam kamar. Maka Arya masukkan laptop, dompet, ponsel, uang dan barang berharga lain ke dalam tas.
Dengan motornya, Pak Nganu membawa Arya menuju ke daerah yang agak jauh dari rumah kos. Mereka berhenti di sebuah jalan kampung yang kanan kirinya tanah kosong dan sawah. Tak ada rumah penduduk, yang ada hanya sebuah penginapan kecil yang sepi dan jarang sekali ada kendaraan berhenti di situ.
Pak Nganu memarkirkan motornya di pinggir jalan kemudian beliau mengajak Arya memasuki sehampar kebun yang lumayan sarat pohon. Di tengah kebun itu, Pak Nganu meminta Arya melepas tas ranselnya lalu menaruhnya di tempat yang aman. Kemudian dengan jarak beberapa meter dari tas Arya, Pak Nganu duduk bersila. Dimintanya Arya melakukan hal yang sama di hadapannya. “Pejamkan matamu lalu konsentrasi. Berdoalah pada Tuhan, ucapkan dalam hati doa yang kamu bisa. Pasrahkan, ikhlaskan, tenangkan hatimu. Konsentrasi pada hal-hal yang sudah menimpamu, pikirkan orang-orang yang kamu sayangi, terus pejamkan matamu, nanti kalau sudah cukup akan kuberi instruksi untuk membuka mata.”
Arya mengikuti instruksi Pak Nganu tanpa banyak bertanya. Dia larut dalam pikirannya sendiri. Matanya tetap tertutup. Satu menit. Dua menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Arya mulai bertanya-tanya mengapa doa perlu waktu sebegitu lamanya. Perasaannya mulai tak enak, maka dibukanya kedua matanya. Tak ada Pak Nganu di hadapannya. Tak ada tasnya di tempat yang aman tadi. Raib. Semua hilang. Arya terduduk lesu. Tak ada kendaraan berhenti di tempat itu. Jaraknya terlalu jauh untuk berjalan kaki ke rumah kosnya. Ponselnya ada di dalam tas, uangnya juga.
Linglung, Arya berjalan menuju jalan kampung. Ia benar-benar mengharap pertolongan Tuhan. Lewatlah seorang petani yang mau meminjamkan ponselnya untuk Arya menghubungi teman sekamarnya.
Arya, yang sudah jatuh, masih ditimpa tangga oleh seorang Pak Nganu yang menjanjikan akan meminjamkan tangga itu untuk Arya naik ke atap. Janji hanyalah janji. Cerita dibuat untuk kepentingan pembodohan dan kebohongan. Arya melacak alamat Pak Nganu yang pernah diberikan padanya. Fiktif. Arya melacak nomor ponsel yang sering menghubunginya dulu. Sudah tidak aktif.
Satu tahun kemudian, kejadian yang hampir serupa menimpa Sansa. Duduk bersebelahan dengan seorang lelaki setengah baya di bis antarkota dalam propinsi tidak lantas membuat Sansa banyak berbasa-basi. Bicara dengannya pun tidak. Namun entah bagaimana awalnya, ia menyadari bahwa ketika ia turun dari bis, lelaki itu menggandeng tangannya. Ia tahu, ia merasa hal itu salah namun ia tak bisa menghentikannya.
Kejadian tersebut terjadi di hari Minggu. Seninnya, Sansa pergi bekerja seperti biasanya. Sepulang kerja, ada nomor asing menelpon ponselnya. Ketika diangkat, katanya dari Kuwi, laki-laki yang duduk bersebelahan dengan Sansa di bis. Kaget, Sansa menanyakan bagaimana ia bisa mengetahui nomor telepon Sansa. Katanya ketika Sansa tidur, Kuwi mengambil ponselnya untuk menelpon ponsel Kuwi sendiri. Lancang. Sansa sempat menegur tapi setelah itu ia seperti orang linglung.
Kuwi mengajaknya bertemu karena Kuwi ingin minta tolong pada Sansa untuk mengantarkannya ke terminal. Ia mau keluar kota dan tidak punya teman di kota itu. Ia berharap Sansa mau berbaik hati menolongnya. Hanya mengantar ke terminal.
Entah apa yang ada di pikiran Sansa waktu itu, hati nuraninya menolak namun bibirnya mengiyakan. Ia pun janjian dengan Kuwi di tempat yang mereka ketahui untuk pergi ke terminal. Hal terakhir yang Sansa ingat ialah saat ia sudah bertemu Kuwi, ia meminjamkan satu hal ke Kuwi. Setelah itu ingatannya raib.
Selasa pagi, Sansa menelponku dengan menangis histeris. Tau-tau ia sudah ada di kamar. Sansa tinggal di rumah kos di tengah kota, jauh dari Arya meski masih satu kota. Laptop yang saat itu ia bawa bekerja raib. Tasnya masih ada, dompet dan kartu identitas, bahkan katu ATM pun masih ada. Namun uang dan ponsel yang ada di dalamnya tidak ada. Setelah dicek, kartu ATM yang tertinggal di dompet sudah dikuras semua isinya. Sansa menelponku dengan ponselnya yang tertinggal di kamar kos.
Gendam, begitu kami menyebutnya. Tindak penipuan secara halus dengan mempengaruhi alam bawah sadar agar melakukan hal-hal tertentu. Mengerikan. Arya dan Sansa adalah dua sahabatku yang sangat bertolak belakang kepribadiannya. Arya ramah, Sansa jutek. Arya mudah percaya orang, Sansa tidak. Tetapi apapun itu, mereka berdua adalah sama-sama orang baik yang hidup dengan cara baik-baik juga. Pengalaman mengerikan itu bercokol di hatiku, menanamkan ketakutan yang sangat besar akan kehadiran orang-orang baru dalam hidupku.
Gendam, begitu kami menyebutnya. Tindak penipuan secara halus dengan mempengaruhi alam bawah sadar agar melakukan hal-hal tertentu. Mengerikan.
Sebaik apapun kita, masih ada saja yang menjahati. Selalu waspada dan bersikap hati-hati harus selalu kita lakukan. Semoga yang terjadi pada Sansa dan Arya tidak akan terjadi pada kita semua. Aamiin...
Author : Daenerys
Pict Source : Here
0 komentar: