Aku pernah merasa begitu bahagia. Ketika menyadari bahwa kamu adalah sosok yang aku cari. Rasanya seperti membaca dongeng putri raja, dan kamu, Sang Pangeran yang tiba-tiba keluar dari bukuku, menjelma nyata. Aku pernah merasakan bahagia. Saat memelukmu dan detik itu hidupku menjadi sempurna. Rasanya seakan aku menggenggam seisi dunia. Tak ada yang lebih kuinginkan lagi.
Berhentilah waktu. Ijinkan aku bahagia selamanya.
Hari-hari bersamamu adalah bahagiaku. Suaramu, tawamu, tatapmu, sentuhmu, adalah kepingan surga yang runtuh menghujaniku. Merasakan kakiku seakan tak lagi menapak tanah. Melayang. Aku melayang seperti berselimut serbuk peri. Aku melayang seperti bocah-bocah di Neverland. Merasakan debar jantung ini berdetak lebih keras, setiap mata ini menatapmu. Kamu yang sempurna, tanpa cela, menyilaukan.
Dan segalanya berakhir.
Aku pergi, kamu pergi. Kita berpisah. Dan kamu benar-benar menghilang. Seperti tak pernah ada. Tak ada sedikit pun jejakmu di sini.
Sakit sekali rasanya, seperti jantungku terlepas, seperti ada lubang besar di dadaku, seperti tak ada oksigen di udara. Sesak. Hampa. Kosong.
Aku merindukanmu. Merindukan segala tentangmu. Aku ingin mendengar suaramu. Ingin melihatmu, sesaat saja... aku akan rela menukarnya dengan apa saja. Apa saja.
Lalu aku mencarimu di dunia maya, berharap bisa menemukan akunmu. Akan tetapi bertahun-tahun kamu tak terlacak. Manusia macam apa yang tidak punya satu pun akun media sosial? Atau benar kamu hanya sebuah mimpi. Utopia yang sempurna, tapi tak mungkin menjelma jadi nyata. Kamu hanyalah khayalanku. Ya... pasti begitu.
Aku melanjutkan hidup. Menikah. Berpindah ke kota lain. Berharap tempat baru akan mengenyahkan bayang-bayangmu. Tetapi sia-sia. Lihatlah... aku merasa kamu ada di sofa ruang tunggu dokter kandungan. Menatapku lalu tersenyum hangat. Aku tersentak. Kamu terasa teramat nyata.
"Yank... giliran kita ke ruang dokter," suamiku menggenggam tanganku, memapahku ke ruang dokter. Dan aku melihat kamu mengangguk dari sofa itu, memamerkan lesung pipi lalu menghilang seperti kabut. Tuhan... mungkin aku benar sudah tidak waras.
Mungkin aku harus menemui psikiater. Karena kamu tak hanya hadir di mimpi, tapi juga terasa nyata. Aku melihatmu, mengiringi langkahku saat berjalan menuju masjid untuk sholat tarawih. Kamu, dengan sarung merah hitam, berpeci, menyampirkan sajadah di pundakmu. Berhenti sesaat menatapku, lalu berlalu dan menghilang.
Apa ini tanda-tanda sakit jiwa?
Dan kemudian aku merasa kamu adalah kutukan untukku. Kamu dan segala perasaanku padamu. Rasanya seperti hukuman yang teramat pedih. Tuhan begitu tak menyukaiku. Hingga membawamu ke hadapanku, membuatku terpesona, lalu dibawa-Nya kamu pergi. Hilang tak berjejak. Membuatku setengah sinting menjalani hidupku.
***
10 tahun berlalu. Aku masih mengingatmu. Namun perlahan aku tak lagi merasa terkena kutukan. Aku membaik. Ya... ternyata butuh 10 tahun untuk sekedar merasa baik-baik saja tanpamu. Untuk tak lagi merasa Tuhan begitu membenciku. Aku hanya merasa Ia teramat lucu. Cara bercanda-Nya terkadang kelewat batas.
Aku belajar menyukai hidupku. Mensyukuri segala yang kumiliki. Suami yang mencintaiku, sepasang bocah yang menyemarakkan hidupku. Hidupku tak terasa sempurna. Aku bisa merasa langkahku menyentuh tanah dan tersuruk-suruk. Aku tak lagi diselimuti serbuk peri. Getar di dadaku tak lagi ada. Datar rasanya. Jangankan menggenggam dunia, merasa dapat berdiri tegak di atasnya saja terkadang terasa sulit. Tapi aku baik-baik saja.
Aku masih belum menemukan akunmu. Tak pernah mendengar kabarmu. Tak memiliki bukti bahwa kau nyata. Tetapi mengingatmu tak lagi terasa menyakitkan.
Ketika wangi kopi menyergap udara. Aku teringat padamu, yang mengajariku bagaimana membuat kopi yang mantap dan enak. Ketika hujan turun, aku merasa tanganmu menggenggamku. Ketika embun-embun menyapa pagiku, ketika segala hal yang mengingatkanku padamu hadir, aku tak lagi tersiksa. Sedikit perih, iya. Tetapi aku tak lagi tercabik-cabik.
Aku bersyukur kamu pernah ada. Bersyukur untuk semua perasaan sempurna yang pernah kurasa. Aku belajar banyak hal. Belajar ikhlas dan berserah pada kuasa Tuhan. Kamu dan segala rasaku, aku tak bisa menanggungnya. Aku serahkan di sujud-sujudku. Tuhan... dia adalah rahasia-Mu. Aku ikhlas jika dia memang bukan untukku. Aku berterimakasih Engkau telah mempertemukan aku dengannya.
Kini, segala kenangan tentangmu adalah bahagia kecilku. Kenangan yang akan membuatku tersenyum dan merasa, setidaknya aku pernah merasakannya; melayang, berdebar, sempurna, setengah sinting, sebodoh itu, setolol itu, segila itu. Bersyukur aku dapat melewati kehilanganmu.
Kenangan yang akan membuatku tersenyum dan merasa, setidaknya aku pernah merasakannya; melayang, berdebar, sempurna, setengah sinting, sebodoh itu, setolol itu, segila itu.
Terimakasih, pernah hadir dan mencinta.
Author : Vishaka Kira
Pict Source : Here
0 komentar: