Ketakutan terbesarku adalah kehilangan ayah dan ibuku. Meskipun kematian adalah rahasia Tuhan. Bisa saja aku yang akan pergi lebih dulu. Tetapi bagiku, meninggalkan mereka tidaklah semengerikan ditinggalkan, hidup di bumi yang tak lagi dihuni mereka. Aku tahu tak semestinya aku merasa begini, tapi membayangkannya saja dadaku sudah teramat sesak rasanya.
Sebagai perempuan yang menikah di usia yang cukup muda. Meninggalkan rumah mereka di usia 19 tahun, aku merasa baktiku belumlah seujung kuku jika dibanding kasih sayang mereka. Aku tahu sebanyak apapun yang aku lakukan belumlah sebanding sengan apa yang sudah mereka korbankan untukku, tapi sungguh... aku ingin setidaknya bisa membuat mereka bahagia dan bangga.
Dan karena inilah, sebuah kesempatan untuk sekedar pulang dan bertemu mereka terasa teramat berharga untukku. Dan sedihnya tak ada yang bisa memahami ini.
Aku tahu sebagai perempuan yang telah menikah kewajibanku adalah mematuhi suami. Tanpa ijin darinya kaki ini tak akan bisa pergi kemanapun. Aku yang bukan lagi milik ayah dan ibuku. Padahal dengan kasih sayang merekalah aku dibesarkan. Aku tahu tak seharusnya terlalu sering merindukan mereka atau pulang menjenguk mereka, tapi hanya untuk dua kali dalam setahun terkadang ini pun terlewat karena kendala biaya dan masih juga aku tak diijinkan, kok rasanya sakit sekali.
Kenyataan mereka semakin menua dengan begitu cepat membuatku teriris-iris rasanya. Tuhan, aku takut.... takut sekali Engkau mengambil mereka.
Terakhir bertemu mereka, tampak sekali tubuh ayahku semakin kurus dan ringkih. Sering terbatuk, giginya sudah banyak yang tanggal sehingga makanannya pun berganti menjadi serba empuk. Ibuku pun semakin kurus, rambutnya beruban, padahal ibu paling takut saat uban pertamanya muncul, giginya juga banyak yang tanggal, keriput di wajahnya semakin kentara. Mereka tampak teramat tua dan melihatnya sungguh menyesakkan dada. Teringat saat aku masih SD dan adikku baru 4 tahun. Ibuku cantik, langsing, rambut lurusnya tebal dan hitam. Pipinya halus sempurna dengan lesung pipi yang terlihat setiap ia tersenyum.
"Apa semua orang akan mati?" Si Kecil adikku bertanya dengan menempelkan kedua telapak tangannya di wajah ibu.
"Tentu sayang, semua orang suatu saat akan mati," jawab ibuku dengan tersenyum dan memeluk adikku.
"Apa orang mati akan dimakan cacing di dalam tanah?"
"Hahaha iya... tubuh orang mati akan dimakan cacing."
Lalu adikku menangis meraung-raung dan memeluk leher ibu.
"Aku nggak mau ibu mati, ibu gak boleh mati, gak boleh dimakan cacing, gak boleh!"
Dan diam-diam aku pun menitikkan air mata, sejak saat itu, setiap selesai sholat aku berdo'a, "Tuhan, aku ingin ayah dan ibuku hidup selamanya, boleh kan?"
Kini, saat mengingat sosok mereka yang menua aku selalu teringat momen itu.
Ini adalah hari ulang tahunku, tahun ini aku berniat meminta hadiah. Aku tahu baik mertua atau suamiku tentu tak mengingat hari spesial ini. Tetapi aku bertekad memintanya. Aku ingin diijinkan berkunjung ke rumah orang tuaku. Aku ingin kali ini mudik diluar jadwal biasanya, tapi toh kesempatan mudik di akhir tahun juga tidak kuambil, jadi anggaplah ini sebagai gantinya. Dan adikku baru saja melahirkan. Aku ingin sekali ada di sana, merayakan kebahagiaan kehadiran keponakanku bersama ayah dan ibuku, bersama adikku. Menikmati saat-saat bersama selagi mereka masih ada. Sekedar mendengarkan ibuku bercerita, sekedar membuat ayahku bahagia dengan memeluk anak tengahnya, tertawa dengan cucu-cucunya. Sehari atau dua haripun tak apa.
Namun belum sempat aku mengucapkan permintaan itu, mertuaku mematahkan harapanku.
"Tadi anak-anak bilang kalau kalian berencana mudik bulan ini?"
"Eng.. iya bu," jawabku terbata, tidak menyangka anakku akan menceritakan niatku pada eyangnya.
"Tak usahlah mudik, buang-buang uang saja."
"Tapi adik saya habis melahirkan."
"Halahhh.. suatu saat nanti juga ketemu."
Aku terdiam. Mengemasi tas dan sepatu anak-anakku. Mencium tangannya dan berpamitan pulang ke rumah. Sepanjang jalan menahan kecewa. Dan aku tak jadi mengatakan apa-apa pada suamiku. Percuma saja. Pasti dia juga akan meminta ijin ibunya untuk mengantarku. Dan pasti ditolak. Buang-buang uang, katanya.
Sama seperti 10 tahun yang sudah aku lewati di kota ini. Ulang tahunku berlalu begitu saja. Dan aku gagal meminta hadiah di tahun ini.
Tak ada yang mengerti ketakutanku. Tak ada seorangpun. Sungguh aku takut hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk membuat mereka tersenyum, sedikit kesempatan untuk memeluk dan merasakan kehangatan mereka. Dan sesulit ini bertemu dengan mereka.
Sungguh aku takut hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk membuat mereka tersenyum, sedikit kesempatan untuk memeluk dan merasakan kehangatan mereka.
Author : Vishaka Kira
Pict Source : Here
0 komentar: