Aku sedang teringat:
Gadis kecil putih bulat empat tahunan yang memakai celana dalam tanpa atasan.
Bermain sendirian di kursi tua coklat berbulu lembut.
Bercakap dengan senang pada puluhan boneka di sekelilingnya.
Tanpa teman.
Aku teringat:
Barisan pot kembang kuping gajah yang menghijau.
Persis berada di pinggiran teras di bawah deretan delapan jendela kaca zaman Belanda.
Berdekatan dengan pohon jambu air putih yang selalu berbuah ramai.
Di sudut sana ada seorang lelaki muda tampan,
berkaos merah cerah dengan kerah berantakan dan bercelana pendek.
Duduk diam dan tersenyum memperhatikan tingkah polah Si Gadis Kecil yang asik sendiri.
Di tangan Si Lelaki terjepit sepuntung rokok kretek merk gudang garam merah
yang berbungkus merah pula.
Di matanya terpancar jutaan sayang pada yang tengah diperhatikan.
Aku teringat:
Bertahun-tahun kemudian lelaki tampan itu makin menua.
Seiring waktu guratan di wajahnya makin terlihat.
Tapi ia tak peduli.
Ia tetap seperti dulu, sangat keras berusaha, melakukan apa yang dia bisa,
demi Si Gadis Kecil yang mulai remaja.
Ia tetap gagah.
Aku juga teringat:
Sekali waktu setelah berbulan-bulan tak bertemu.
Ia dan motor bututnya begitu bersemangat menjemput Si Gadis di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ia dan senyumnya yang tetap sama.
Senyum penuh cinta yang sedikit disembunyikan namun sangat jelas gembiranya.
Aku akhirnya teringat:
Di satu pagi bertanggal lima januari, dengan sedikit malu dan segan karena tak biasa,
gadis itu mengecup pipi kiri Si Lelaki Tampan yang menua.
Sambil berucap: Selamat Ulang Tahun, Ayah.
Ulang tahun yang ke empat puluh lima.
Ulang tahun terakhirnya.
Kini aku hanya bisa mengingat:
Lelaki tampan pekerja keras yang memiliki sejuta kasih untuk Si Gadis: ayahku.
Aku hanya bisa mengingat teduh wajahnya dan menyebut namanya dalam tiap doa sederhanaku.
Hanya bisa mengingat betapa aku belum memberikannya apa-apa.
Hanya bisa berjanji akan menjaga pasangan jiwanya sepenuh hati.
Dan saat ini aku sedang teringat:
Betapa aku mencintai Si Lelaki Berkaos Merah itu.
Dan betapa aku merindukannya.
Ayah. Ayah. Ayah.
Author : Puan Belba
Pict Source : Here
0 komentar: