Lelaki tua itu kupanggil Bapak. Beliau adalah suami dari Mbah Uti. Mereka berdua kakek nenekku, sepasang mbah yang merawatku, membesarkank...

PANTI AMARTA



Lelaki tua itu kupanggil Bapak. Beliau adalah suami dari Mbah Uti. Mereka berdua kakek nenekku, sepasang mbah yang merawatku, membesarkanku, memarahiku, menyemangatiku dan tak pernah memanjakanku.

Sebetulnya aku adalah anak tunggal, tapi karena satu dan lain hal maka aku tinggal bersama kakek nenekku di kota yang terpisah dengan kota dimana orangtuaku berada. Rumah kakek nenekku ada di Jalan Amarta. Mbah Uti menyebut rumahnya Panti Asuhan. Aku menyebutnya Panti Amarta.

Di sana tidak hanya aku yang diasuh Mbah dan Bapak. Ada Imbin, dia sepupuku yang ibunya sudah meninggal. Mbah dan Bapak mengajariku bahwa baik ayah atau ibu yang meninggal, maka anaknya disebut anak yatim. Tidak ada anak piatu. Kalau meninggal ayah ibunya namanya anak yatim piatu. Jadi Imbin itu anak yatim. Bukan anak piatu.

Imbin sudah seperti adik kandungku. Kami bertengkar, berbagi, bergaul dan belajar layaknya kakak beradik kandung pada umumnya. Jarak kami terpaut 7 tahun. Kami pun sudah seperti anak-anaknya Mbah dan Bapak.

Aku tidak bisa menggambar sama sekali. Sementara pelajaran seni ukir tidak bisa dihindari di sekolah manapun di Jepara kala itu. Maka sudah pasti jika ada pelajaran Seni Ukir, aku membawa buku gambarku pulang untuk digambarkan Bapak. Bapak bisa menggambar dengan sempurna. Tapi tak masalah, tak akan terlihat kalau itu bukan hasil karyaku karena gambar Bapak yang sempurna akan berubah menjadi hancur setelah kuwarnai, terutama jika harus menyungging warna.

Mbah Uti adalah seorang koki hebat yang punya rasa khawatir berlebihan. Maksudku beliau bisa memasak dengan sangat lezat. Banyak hal yang sering beliau khawatirkan padahal seharusnya tidak perlu. Mbah Uti hidup sangat sehat. Sekitar tahun 1997 sepertinya, beliau divonis Diabetes. Sering keluar masuk rumah sakit karena stress pada waktu itu, kemudian beliau belajar untuk hidup lebih sehat. Sampai sekarang, beliau aktif berorganisasi dan ikut olahraga senam dan lain-lain.

Semasa sekolah, Bapak selalu mengambil rapotku, menjemputku di pinggir jalan ketika hujan supaya jika keluar dari angkot aku bisa langsung dipayunginya. Beliau yang selalu menunggu di luar rumah jika tahu aku akan pulang. 

Panti Amarta tidak besar, kami hidup seatap dengan keriuh-rendahan keluarga, kami tidak memiliki kamar-kamar pribadi. 

Aku rindu rumah itu, aku rindu Panti Amarta. Kala itu, masih ada lagi dua orang sepupuku yang tinggal di rumah yang sama bersama ayah ibunya. Ramai Panti Amarta itu. Pun seorang tanteku yang merawatku dan Imbin sejak kecil tinggal di sana juga. Panti Amarta tidak besar, kami hidup seatap dengan keriuh-rendahan keluarga, kami tidak memiliki kamar-kamar pribadi. Aku tidur di depan tv, di ruang tengah bersama Imbin dan Mbah Uti.


Aku rindu rumah itu, yang tak pernah kumasuki dengan perasaan biasa saja jika pulang terlambat, yang tak pernah menggangguku karena tak punya kamar, yang tidak besar namun selalu cukup menampung semua orang yang ingin datang dan menginap di sana.

Aku ingin pulang ke Panti Amarta.



Author : Aicha
Pict Source : Here


0 komentar: