Pagi ini cuaca kembali menghangat setelah badai datang berhari-hari yang lalu. Begitu pun rinduku padamu, Nov. Ia kembali menghangat setelah beku selama beberapa musim. Sekarang ia duduk disini, di sampingku. Duduk manis seperti seorang anak kecil dengan lolipop di tangan dan dengan cerianya ia kembali bercerita. Tentang kita.
***
Aku sangat ingat bagaimana kamu mengatakannya waktu itu. Kamu sedang dalam posisi tengkurap menghadap buku yang entah kamu tulisi apa. Kita bicara banyak sampai akhirnya kamu bilang, “Aku mungkin bisa kenal dan dapetin orang yang lebih dari kamu, tapi kamu nggak akan kenal dan dapetin orang yang kayak aku.” Setelah mengatakan itu kamu tersenyum. Entah apa maknanya. Sementara aku, memandangimu lama sekali. Mencoba menerka kemana arah pembicaraan itu. Diam-diam dalam hati aku membenarkan apa yang kamu katakan tadi. Kamu memang sangat istimewa. Yang aku tahu, segalanya yang istimewa tak pernah ada duanya.
Lalu emosi yang sangat banyak meluluh-lantakkan kita. Menghadirkan jarak yang sangat jauh untuk ditempuh dengan langkah. Jarak yang pada akhirnya hanya sanggup membuatku berwujud bayang-bayang di sampingmu. Perpisahan itu menghadirkan rindu yang tak pernah sekalipun bisa kukendalikan.
Aku marah pada diriku sendiri. Rindu ini semakin menebal setiap hari. Menggodaku saat aku sendiri, tersenyum padaku dengan siluet wajahmu yang sangat kuhapal, lalu rindu memelukku erat sekali. Hangat. Rindu yang sama membuat mataku terlalu hangat, dan begitu saja aku menangis. Aku menangis karena rindu-rindu ini, Nov. Rindu padamu. Rindu yang semestinya tidak pernah ada lagi. Sebab perpisahan dengan terang-terangan menampar kita, menjelaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa kita memang punya jalan yang lebih baik selain hidup bersama-sama. Aku dengan jalanmu, kamu dengan jalanmu.
Rindu-rindu ini sangat menuntut. Ia membuatku merasa sangat cemas sekaligus kalut. Beberapa rindu pernah kurasakan, tapi tak pernah sebesar ini, Nov. Entah apa saja yang pernah kita lakukan, entah berapa banyak hari-hari yang pernah kita miliki sampai rindu ini berat sekali. Aku hampir putus asa. Aku gagal mengendalikan perasaanku ini. Dengan sedikit frustasi antara membenci atau menikmati kerinduanku ini, kuputuskan untuk memberikan rindu ini apa yang ia inginkan.
***
Kurang lebih sembilan jam yang kubutuhkan untuk sampai di kotamu. Berganti bus, menumpak kapal laut, hingga berjalan kaki menuju tempat yang kita sepakati untuk bertemu. Kembali bertemu tepatnya, setelah ratusan hari yang penuh dengan rindu. Waktu itu senja, di temaramnya aku menemukan dirimu berjalan ke arahku. Ada yang sedang bergemuruh di dadaku, itu pasti ulah rindu. Ia pasti sangat bahagia sekali, hasratnya untuk bertemu sudah kutuntaskan. Ya, selama ini yang dibutuhkan rindu adalah bertemu. Sebagai seseorang yang tengah memiliki rindu, aku harus mengabulkan permintaannya untuk bertemu yang diinginkannya meskipun ini kesempatan terakhirnya.
Di sanalah aku. Hanya berjarak beberapa hasta dari tubuhmu, Nov. Harum parfum yang sama, gaya busana yang sama, senyum khas yang tak pernah ada duanya, semua itu ku saksikan di depan mataku. Entah apa yang dilakukan si rindu di dalam hatiku. Mendengar gemuruhnya sangat keras, aku menduga si rindu sedang berpesta di dalam hatiku sana. Biarlah, rindu pantas berbahagia. Setidaknya aku sudah memangkas jarak yang jauh itu, menyembuhkan luka rindu-rindu itu.
Hitungan jam yang ku habiskan denganmu menemui ajalnya dengan cepat. Kenyataan mulai mengoceh lagi, meminta kita berpisah lagi entah untuk yang keberapa kali. Itu artinya aku akan merindukanmu lagi, Nov. Sekali lagi, atau mungkin ratusan kali lagi. Aku sudah bertemu denganmu. Aku sudah menyembuhkan rinduku, tapi tidak ada yang pernah benar-benar sembuh, Nov. Rindu ini tidak hilang. Ia mungkin sembuh, tapi tidak pernah benar-benar hilang. Aku kembali putus asa. Menghadapi rindu ini tidak pernah mudah, dan aku mengakuinya. Aku menerimanya.
***
Pagi ini hangat, Nov. Seperti rinduku padamu yang memang tidak pernah ditakdirkan untuk beku. Sementara itu rinduku sedang terpekur disampingku, mengigaukan namamu, Nov. Dan aku disini. Terselubung dalam balutan pakaian suci, menikmati dhuha yang sunyi, tertunduk sembari menggumamkan doa-doa yang mengucap namamu berkali-kali. Aku tidak punya cara lain untuk menenangkan diriku akibat rindu yang maha berat itu, Nov. Aku tidak ingin lagi menangisimu karena rindu, sebab kamu bukan sesuatu yang pantas untuk ditangisi.
Aku mulai sedikit mengerti betapa rumitnya rindu bekerja. Bertemu dengan yang diinginkannya mungkin bisa menyembuhkan perasaannya meski sebentar. Tapi rindu itu abadi, Nov. Ia tidak ditakdirkan untuk hilang.
Aku mulai sedikit mengerti betapa rumitnya rindu bekerja. Bertemu dengan yang diinginkannya mungkin bisa menyembuhkan perasaannya meski sebentar. Tapi rindu itu abadi, Nov. Ia tidak ditakdirkan untuk hilang. Ia seperti hal rumit lain yang memang kehadirannya untuk diterima, bukan diinterupsi apalagi dihilangkan. Ia hanya ingin ada, jadi biarkan ia ada. Jangan membencinya. Jika bisa kamu sembuhkan, sembuhkanlah. Redakan rindu semampu kamu. Tapi jangan pernah memintanya untuk pergi. Rindu tidak akan pernah mau pergi. (Aku sedang menasehatiku diriku sendiri)
Aku menemukan cara lain untuk merindukanmu, Nov, dan ini cukup membuatku tenang. Aku masih merindukanmu, tidak apa-apa kalau memang harus begitu. Jika aku punya cukup kekuatan untuk menerjang keterbatasanku, aku akan kembali menemuimu untuk membuat rinduku merasa baikan. Jika tidak, biarkan saja aku begini. Menggumamkan namamu berkali-kali, mendoakan segala yang terbaik untukmu, dan sesekali berharap bahwa saat salah satu doa baikku tentangmu terkabul, aku anggap rinduku padamu selama ini tidaklah salah.
Dan seperti halnya merindukanmu, mendoakanmu tidak perlu persetujuanmu kan? Sebab berdoa tidak butuh persetujuan. Sebab doa-doa itu adalah rinduku untukmu. Aku tidak bisa tidak merindukanmu. Sebab rindu tidak bisa hilang kecuali ia sendiri yang menghendakinya.
Author : Anka
Pict Source : Here
0 komentar: