"Ketika kita percaya bahwa tidak ada satupun kehilangan yang direncanakan, maka selayaknya kita juga percaya, perpisahan pun dem...

Waktu Kita Sudah Habis


"Ketika kita percaya bahwa tidak ada satupun kehilangan yang direncanakan, maka selayaknya kita juga percaya, perpisahan pun demikian."

Topik perihal kehilangan atau perpisahan memang tidak ada habisnya untuk dibahas. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Kehilangan hal kecil atau hal besar sekalipun. Kehilangan benda atau orang-orang yang kita sayang. Sesuatu yang awalnya kita genggam, kemudian menjadi hilang begitu saja dari genggaman. Seolah direnggut paksa untuk hilang, tanpa pesan pendahulu. Sakit memang, tapi kita bisa apa kalau Tuhan sudah menjalankan skenario-Nya.

Jujur saja, aku bukan termasuk orang yang mudah menerima suatu kehilangan atau perpisahan secara lapang dada. Tidak sama sekali. Perasaan kecewa, sedih, kesal dan entah perasaan 'kenapa harus aku yang mengalami kehilangan ini (lagi)?' itu kerap muncul. Bahkan terkadang marah dan menyalahkan Tuhan karena apa yang telah menimpaku.

Aku akan menceritakan salah satu momen kehilanganku. Momen yang belum bisa aku lupakan sampai detik ini. Tentang kehilangan dia yang telah pergi .

----

Kurang lebih tujuh tahun lalu (jangan tanya tanggalnya kapan, tentu saja aku lupa), dia datang sebagai anak baru di kantorku. Mengisi satu kursi kosong di ruangan sebelah. Seminggu kemudian, aku baru tahu kalau dia 'ada' dan kita berkenalan, lebih tepatnya dikenalkan. Di warung belakang kantor waktu jam makan siang, aku baru menyadari kalau matanya indah dan aku suka.

Karena kebanyakan teman kita adalah orang-orang yang sama, kita pun lebih sering bertemu di dalam atau luar jam kantor. Aku ingat, dia yang pertama kali membuka obrolan denganku, ya kalian tentunya tau kan bagaimana penyakit lamaku saat di hadapkan dengan orang baru. Iya, aku canggung-canggung gugup minta digampar. Salah tingkah nggak jelas, cenderung banyak diam. Bicara cuma kalau ditanya, itu pun cuma seperlunya tanpa berniat bertanya balik. Namun ada saja pertanyaan-pertanyaan dia yang ditujukan kepadaku, yang mau nggak mau selalu aku jawab. Seolah selalu memancing obrolan kami agar tetap hidup.

Lambat laun kami makin dekat. Dia orangnya asik diajak berteman dan tentunya baik. Aku nyaman, karena mungkin seringnya mengobrol, bercanda, jalan bareng, aku merasakan ada yang aneh dengan diriku. Ada sesuatu hal ganjil yang aku rasakan ketika 'dekat' dengan dia. Akan tetapi aku simpan rapat-rapat. Aku masih belum berani untuk terbuka dan bilang aku ada rasa lebih kepadanya. Hingga suatu ketika, dia bilang suka padaku. Ya dan seterusnya seterusnya layaknya orang ingin meminta seseorang menjadi pasangannya. Aku belum meng-iya-kan, tapi aku cuma bilang kita jalani saja layaknya jalinan hubungan orang dewasa. Dia sering datang ke rumah. Main dan berkenalan dengan orang tua dan keluargaku. Begitu pun sebaliknya, aku sudah mengenal keluarganya.

Hingga tiba di sebuah rabu pagi di bulan Januari, saat seorang teman mengabarkan kalau dia meninggal. Ya, dia meninggal. Aku terdiam, memilih mengabaikan pesan dari temanku tersebut. Menganggap hal itu cuma sekadar lelucon, meskipun salah satu sisi dari diriku berceletuk 'Mana ada, Wid, orang menjadikan kematian seseorang sebagai lelucon?'.

Aku masih belum percaya sebelum beberapa teman menelpon secara langsung. Mereka bercerita kalau dia meninggal pukul 02.30 dini hari. Ya, tepat setengah jam setelah kita saling berkirim pesan.

Aku menangis? Tidak.

Aku masih berharap kalau ini semua hanya mimpi, berharap seseorang mencubitku. Berharap ini semua hanya bagian dari sebuah kejutan 'kena deh' yang dia persiapkan untukku. Namun aku salah. Ini semua nyata. Ini semua kenyataan yang harus dan wajib aku terima. Kenyataan bahwa dia telah pergi.

Singkat cerita, kehilangan dia membuatku menjadi pribadi yang pendiam. Seperti energi dan semangatku tersedot habis, duniaku runtuh (ok, aku akui ini memang lebay sekali). Sebulan lebih aku menggalau. Aku habiskan waktu hanya untuk bekerja, tidur, dan menangis jika sendiri. Kali waktu berkunjung ke rumahnya.

Sampai suatu malam, dia datang dalam mimpiku. Dia datang ke rumah dengan setelan putih-putih, dengan senyumnya dia memberiku sepasang gantungan kunci yang cantik sekali. Kemudian berpesan untuk tidak meratapi kepergian dia lagi. Seolah berpesan kalau aku harus bangkit, aku harus bahagia.

Tidak berapa lama, aku memutuskan untuk 'cukup'. Cukup meratapi kepergian dia. Cukup untuk membuat dia sedih. Aku mengambil keputusan ini, karena ya tentunya ini yang terbaik. Keputusan yang aku ambil setelah mendengar sebuah kajian yang aku ikuti beberapa waktu kebelakang dan tentunya karena pesan dari dia lewat mimpi kapan lalu. Dalam kajian tersebut dijelaskan bahwa apa yang terjadi dalam diri manusia semua adalah takdir yang ditulis oleh Tuhan. Mau semarah apapun kita, kalau sudah takdir ya mau bagaimana lagi. Menerima jalan satu-satunya.

Kehilangan membuatku tahu, kalau apa yang aku genggam selama ini sewaktu-waktu bisa hilang, terlepas dari genggaman. Terlepas bukan karena dilepas atau melepas, tapi karena memang sudah waktunya untuk terlepas. Waktu kita bersama sudah habis.




Author : Embun
Pict Source : Here

0 komentar: