Ada yang mengatakan cemburu itu adalah bentuk dari ungkapan rasa sayang, tanda cinta. Yah, kebanyakan orang pasti mengatakan hal itu. Akan tetapi kita juga sadar kalau cemburu sebenarnya adalah ketakutan. Rasa takut akan kehilangan sesuatu. Semua orang pasti pernah mengalaminya, walaupun hanya sekali, walaupun hanya sesaat, karena saat ini pun terkadang aku masih merasakannya.
Aku adalah anak kedua dari 3 bersaudara yang terlahir di keluarga yang sederhana. Terlahir sebagai anak kedua membuatku merasa biasa saja. Kakakku selalu menjadi kebanggaan keluarga. Dia cantik, dia pintar dan mempunyai banyak prestasi. Kakak adalah kesayangan papa. Adikku, si bungsu, sebagai satu-satunya anak lelaki di keluargaku, tumbuh dengan segala kecukupannya. Cukup akan cinta, cukup akan materi, semua keinginannya selalu kami penuhi, apapun itu. Kami memanjakannya. Kedua orang tuaku, terutama mama, sangat menyayangi adikku. Aku sendiri si tengah, hidup diantara kedua saudaraku itu. Bukan kesayangan papa, bukan kesayangan mama, aku kesayangan nenekku. Saat kedua orang tuaku sibuk dengan anak kesayangan masing-masing, hanya nenekku yang peduli padaku.
Menjadi si nomor dua terkadang membuatku merasa apa yang berhasil aku lakukan selalu sia-sia. Semua prestasi yang aku raih, dianggap biasa karena kakakku sudah terlebih dahulu meraihnya. Semua keinginanku harus aku tangguhkan bahkan sebelum aku mengatakannya, saat orang tuaku bilang adikku lah prioritas mereka. Semua itu membuatku merasa tersisih, semua itu membuatku merasa terasing dari keluargaku sendiri. Padahal yang aku inginkan bukanlah sesuatu yang sulit. Aku hanya ingin tatapan dan senyum bangga mereka saat aku berhasil meraih sesuatu, aku ingin belaian lembut di kepalaku dan tepukan perlahan di bahuku tanda mereka menyayangi dan mendukungku, atau sekedar pelukan hangat saat aku benar-benar membutuhkan mereka. Bukan pujian-pujian akan semua prestasiku dan membanggakannya pada semua orang, bukan pula memenuhi semua keinginanku atau memberiku materi yang berlebih. Hanya itu. Hanya sekedar itu. Namun sesuatu yang ‘hanya’ itu pun sampai saat ini masih sulit aku dapatkan.
Pada akhirnya aku tumbuh menjadi pribadi tertutup, suka menyendiri, tidak lagi menyuarakan pendapat, karena aku tahu itu tidaklah ada artinya. Tanpa disadari, dengan perlahan tapi pasti, aku mulai membangun benteng tak kasat mata diantara aku dan keluargaku, bahkan dengan orang-orang. Aku cemburu, aku iri pada kedua saudaraku. Aku cemburu pada orang-orang yang bisa hidup bahagia di luar sana. Aku takut kehilangan cinta keluargaku. Aku takut kehilangan mereka. Namun aku tidak bisa berbuat apapun karena semua yang aku perbuat hanya berakhir pada kesia-siaan.
Terkadang aku berpikir, kenapa aku tidak terlahir menjadi anak pertama atau terakhir? Apa aku bisa memilih keluarga di mana aku akan terlahir? Apa kalau aku sakit parah, kalau aku meninggal, keluargaku akan memperhatikanku? Apa mereka akan mencurahkan kasih sayangnya padaku? Apa mereka akan kehilanganku, merasa menyesali semuanya? Aku sering bertanya seperti itu pada Tuhan. Pertanyaan tidak tahu berterima kasih, karena aku hanya terus mengeluh. Tuhan pada akhirnya menjawab pertanyaanku.
Suatu hari, aku menemukan seseorang yang bisa memberikan seluruh cinta dan perhatiannya padaku. Semua perasaaan yang tidak dapat aku peroleh dari keluargaku. Aku memberanikan diri memberi kepercayaan padanya. Namun ternyata dia adalah orang yang salah. Semua hal yang sudah aku lalui bersamanya, semua pengorbananku kembali sia-sia. Aku hancur. Hatiku terluka. Aku sudah jatuh terlalu dalam, bahkan untuk bangkit bangun pun aku enggan. Hanya kematian yang terlintas dipikiranku saat itu. Dahulu aku suka tertawa saat mendengar berita, seseorang bunuh diri karena patah hati. Akan tetapi kini aku tahu bagaimana perasaan mereka. Kematian cara tercepat untuk melarikan diri, kematian cara tercepat untuk melupakan semua sakit ini. Namun Tuhan sepertinya berkehendak lain. Berbagai cara yang aku coba nyatanya tidak kunjung juga membuatku kembali pada-Nya. Pada pada saat itu mama datang padaku, memelukku, menenangkanku, tanpa berkata apapun. Pelukan mama terasa hangat, seperti kembali ke rumah. Dalam pelukan mama aku hanya bisa menangis, menumpahkan semua kesedihan dan kekecewaanku.
Selama ini aku dibutakan rasa cemburu dan iriku yang pada akhirnya justru menutup hatiku untuk menyadari bahwa sebenarnya masih ada orang yang peduli padaku.
Sejak itu aku berusaha bangkit, walaupun itu sangatlah sulit, apalagi untuk kembali percaya pada seseorang. Kenyataannya mama selalu ada untukku. Aku kembali bertanya dalam hati. Apa ini jawaban Tuhan untukku. Lewat jalan luka ini, Tuhan menyadarkannku. Selama ini aku dibutakan rasa cemburu dan iriku yang pada akhirnya justru menutup hatiku untuk menyadari bahwa sebenarnya masih ada orang yang peduli padaku. Semua bentuk cinta dan perhatian kecil mereka luput dari pandanganku. Aku sadar, ketakutan itulah yang justru menjauhkanku dari cinta keluargaku.
Kecemburuanku membuatku sakit sendiri, menjauhkanku dari keluargaku. Kecemburuan itu menghancurkanku. Namun Tuhan tidak akan pernah membiarkan kamu sendiri. Terkadang untuk membuatmu sadar akan adanya cinta, kamu harus bersinggungan dengan luka terlebih dahulu. Melalui cemburu aku sadar, sebenarnya ada cinta untukku. Aku tidak sendiri. Keluargaku, terutama mama, mencintaiku.
Author : Ran
Pict Source : Here
0 komentar: