Saat itu, kurang dari sebulan aku kenal dengan pria asal Kebumen, tapi aku merasa langsung cocok dengannya. Dia yang setenang air membuat komunikasi kita mengalir begitu saja. Jeda sehari, dua hari, tidak membuatku khawatir berlebihan. Aku selalu berpikir positif dan tidak pernah menduga-duga dia akan mempermainkan perasaanku. Hingga sore itu, aku menemukan komen di Instagram miliknya dari seorang perempuan yang terang-terangan berkata, “Miss You Muaaach.” Lalu dia membalasnya, “Me too.” Rasanya seperti... ada cicak yang menempel di otakku.
Aku benci cicak! Aku fobia cicak! Rasanya menggelikan, risih, kesal, marah, ingin teriak. Hingga aku menanyakan statusnya dan dia bilang kalau dia single. Aku masih belum puas, karena yang namanya pria bisa saja kan berbohong? Pria yang sudah punya anak cucu saja bisa mengaku single, apalagi ini pria yang usianya dua tahun lebih tua dariku. Aku pun membuat status kekanak-kanakan yang menyindirnya, “Jangan jadi tipikal masa kini deh! Nempel sana-sini. Misyu sana-sini.”
Dia yang merasa tersindir hanya tertawa ngakak membaca statusku. Dia menanyakan apa maksudnya, tapi aku masih marah dan tidak memberitahunya. Ya, ketika diingat-ingat lagi rasanya menggelikan. Aku cemburu karena hal sepele seperti itu. Padahal aku pun punya teman pria yang sama genitnya seperti perempuan itu. Jika dia di posisiku lalu melihat temanku merangkulku manja, mengatakan kangen, lalu memanggilku ‘sayang’ atau ‘beb’ seperti kebiasaannya, apa dia akan cemburu sekanak-kanakan itu? Sepertinya tidak. Dia malas memikirkan hal-hal yang tak penting.
Kini hampir dua bulan aku mengenalnya dan aku sering stalking Instagram-nya. Memberikan like pada foto selfie perempuan saja bisa membuatku cemburu. Ingin rasanya upload foto selfie-ku juga, demi mendapat tanda hati merah darinya, tapi aku harus install aplikasi Beauty Plus atau Camera 360 dulu supaya lebih cantik dari perempuan-perempuan itu. Menggelikan. Aku tidak ingin ikut-ikutan selfie hanya karena cemburu. Lagi pula siapa mereka? Biar saja dia memberikan tanda hati di Instagram, asalkan hati aslinya hanya diberikan padaku. Hahaha. Aku jadi terlalu percaya diri!
Setiap kali aku merasa cemburu, aku selalu bercermin kembali. Aku lebih sering memberikan like pada foto-foto pria tampan di Instagram, sebut saja Marshall Sastra yang pesona senyum dan tattoo-nya bikin jantung jumpalitan, belum lagi artis Jepang dan Korea, personil band indie Jakarta Selatan, penyiar radio PTPN Solo, teman sekomunitas, dan banyak lagi. Jadi kalau dia sama-sama stalking Instagram-ku, dia yang lebih pantas cemburu. Sayangnya hatinya terlalu dingin buat dipanas-panasin hal remeh seperti itu. Kadang aku berpikir, kalau selamanya dia tidak pernah cemburu padaku, apa berarti dia tidak pernah menyukaiku? Atau mungkin setiap orang punya caranya sendiri menunjukan rasa suka, termasuk menunjukan rasa cemburu? Jadi aku biarkan saja dia sedingin itu.
Dia yang tenang, dingin, dan tak pernah menunjukan perasaannya seringkali membuatku ragu. Dia bisa mengatakan ‘Miss You’ pada perempuan lain, tapi tidak padaku. Dia bisa saja memberikan hati pada perempuan lain, tapi tidak padaku. Lalu aku harus pergi dan meninggalkannya? Aku tidak bisa. Setidaknya sampai saat ini, aku senang dia ada. Seolah-olah sikapnya menjagaku agar tidak terbang terlalu tinggi karena mengharapkannya. Setiap kali aku terbang, sikap dinginnya seperti menarikku kembali untuk menapak di bumi. Aku pun sadar kalau diusiaku sekarang yang aku butuhkan bukan diterbangkan oleh harapan, melainkan menapak pada realitas.
Seolah-olah sikapnya menjagaku agar tidak terbang terlalu tinggi karena mengharapkannya.
Aku sangat bersyukur dia ada sebagai air yang membantuku menemukan arah. Aku berterimakasih padanya, karena telah menjadi jangkar yang menahan perahuku agar tidak terlalu hanyut dalam harapan semu. Terimakasih. Ya, aku beruntung menemukannya.
Author : Wishoshi
Pict Source : Here
0 komentar: