Bicara tentang cemburu, tidak melulu pada
pasangan kita. Cemburu yang menguasai saya justru datang dari sosok anak-anak papa
dari mama yang lain. Ya, papa saya poligami. Sakit? Tentu iya. Banyak yang
mengalaminya. Menyumpah-serapahi papa yang berpoligami bisa dilakukan, tapi bukan oleh saya karena mama sayalah yang menikah belakangan. Mama istri
ketiga. Istri pertama Papa dipisah cerai olehnya. Ada satu anak perempuan dari
hasil pernikahan mereka. Mbak Sulung saya. Kemudian Papa menikah dengan perempuan
lain yang melahirkan Mbak Tengah dan si Bungsu. Saya anak satu-satunya dari
istri ketiga Papa, berselisih empat tahun dengan Mbak Tengah dan dua tahun
dengan si Bungsu, anak laki-laki Papa satu-satunya.
Darah seni melekat erat pada Papa yang
entah kenapa tidak sedikitpun menurun pada saya. Papa banyak bergaul dengan
pelukis dan pematung, beliau sendiri pandai menghasilkan lukisan dan patung.
Saya? Menggambar cacing saja tidak bisa.
Mbak Sulung saya pandai menari. Mbak Tengah
saya pandai melukis, bahkan ia lulus SMA Seni di Jogja. Adik Bungsu saya pandai
sekali matematika. Saya? Ah sudahlah, saya tidak ada prestasi apa-apa. Saya
tidak cemburu loh pada mereka. Serius! Yang cemburu itu Mama saya. Beliau ingin
anak satu-satunya ini dibangga-banggakan juga oleh Papa seperti beliau
membanggakan anak-anaknya yang lain.
Saya harus dapat ranking satu. Saya harus dapat
nilai bagus. Saya tidak boleh pulang malam. Saya tidak boleh terlihat punya
cacat sedikitpun. Apakah saya mampu melakukannya? Yaiyalah saya mampu. Masa
saya tidak mampu sih. Manusia kan kalau sudah sangat terpaksa akan bisa
melakukan hal-hal yang tidak mungkin.
Tumbuh besar jauh dari orangtua dan merasa
tertekan membuat saya menjadi pribadi yang sakit jiwa. Saya berbeda dari orang
pada umumnya. Ternyata, sampai sekarang, Papa masih suka membanggakan
anak-anaknya yang lain. Sudah umur 20 ke atas, pastilah materi yang jadi
sorotan.
Mbak Sulung saya karirnya bagus, mobil
punya, suami juga punya rumah di sini dan di sana. Mbak Tengah saya tak kalah
kayanya, bersuami polisi mana mungkin rumahnya jelek dan tidak bermobil. Adik
Bungsu sudah mapan kerja di perusahaan besar dengan pangkat yang lumayan
tinggi.
Saya? Janganlah tanya. Hidup saya jauh dari
kekayaan materi. Saya cuma guru SD. Suami saya cuma guru bimbel. Anak kami
lambat perkembangannya. Sakit? Oh tidak, saya tidak sakit hati. Kecemburuan
Mama juga sudah berhenti. Sejak sebuah kejadian besar yang membuat Papa diusir
Mbak Tengah, anak kesayangannya. Ia melarang Papa bertemu dengan anak-anaknya.
Saya tahu Papa sedih tapi mau bagaimana lagi. Papa kini tinggal di rumah Mama. Mbak
Sulung saya tinggal di kota yang jauh dengan Papa, anak-anaknya tidak dekat
dengan Papa. Belum lagi karena suatu kejadian, suaminya enggan bertemu dengan
Papa.
Sementara Adik Bungsu saya yang anaknya lebih
muda dari anak saya namun terlihat lebih pandai dari anak saya, sekarang sedang
mengurus proses perceraiannya. Anaknya tentu ikut istrinya. Jadilah anak saya cucu
Papa satu-satunya yang bisa ia dekati.
Tidak apa-apa saya tidak dibanggakan, tidak apa-apa anak saya tidak dibanggakan karena membuatnya tetap mencintai kakeknya secara utuh sudah merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya.
Sekecewa apapun saya pada Papa, saya tidak
ingin menanamkan rasa cemburu yang mungkin mempengaruhi pandangan anak saya terhadap
kakeknya. Biar anak saya memiliki momen indah bersama kakeknya, biar anak saya
merasakan indahnya punya kakek. Tidak apa-apa saya tidak dibanggakan, tidak
apa-apa anak saya tidak dibanggakan karena membuatnya tetap mencintai kakeknya
secara utuh sudah merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya.
Author : Aicha
Pict Source : Here
0 komentar: