Kesedihan ini seperti lantunan nada-nada
sumbang pada lagu pengantar tidur.
Kesepian ini tak ubahnya hama yang
menggerogoti bagian-bagian tak berperisai.
Bila rasa adalah warna, maka ini adalah
hitam pekat tak beroksigen.
Sesak, tak terhingga, kemudian mati.
Empat baris kalimat di atas aku tuliskan
kira-kira setahun yang lalu. Penggambaran yang menurutku paling pas untuk apa
yang aku rasakan saat itu.
September 2015, aku akhirnya benar-benar
menyudahi hubunganku dengan laki-laki (yang waktu itu kuanggap calon suamiku)
yang sudah kukenal sejak aku SMA.
Aku pertama kali memiliki hubungan istimewa
dengannya ketika aku kelas 2 SMA, tahun 2003. Lalu ketika aku lulus di 2004,
kami putus karena tinggal beda kota. Dia di Bandung, aku di Jakarta. Tahun 2006
awal, dia mendatangiku di Jakarta dan mengajakku kembali pacaran. Aku
menerimanya, tapi hubungan itu tidak bertahan lama. Karena LDR, kami kembali
putus di 2006 akhir. Setelah itu, kami benar-benar tidak berkomunikasi sekitar
tujuh tahun lamanya.
Di bulan Oktober tahun 2013, tepatnya di
hari ulang tahunku yang ke 27, siang itu teman-temanku sedang istirahat. Aku duduk
sendirian di kantor yang lengang, mau tidak mau membuatku memikirkan banyak
hal. Umurku sudah 27, ibuku di kampung sudah sering bertanya kapan aku akan
menikah. Bagaimana mau menikah, pacar saja aku tidak punya. Waktu itu memang
sudah hampir setahun aku memilih menjomblo setelah diselingkuhi mantan pacarku.
Ketika sedang berpikir macam-macam,
tiba-tiba datang seorang kurir yang mengantarkan kue ulang tahun. Cake coklat
yang cantik sekali. Tidak ada nama pengirim, tapi ucapan yang tertulis di atas
kue itu, hanya dia yang memanggilku seperti itu. Bisa kalian bayangkan rasanya
kan, tidak ada angin tidak ada hujan, tujuh tahun tidak ada kabar berita,
tiba-tiba ada cake dan ucapan selamat ulang tahun. Lengkap dengan panggilan
spesial kami dulu. Dan disaat aku tidak punya pacar pula.
Waktu itu aku senang, tapi bingung
bagaimana harus bersikap. Apa maksudnya dia melakukan hal seperti itu?
Lalu, karena penasaran, sepulang dari
kantor aku membongkar catatan-catatan lama, mencari nomor handphone-nya.
Ternyata masih aktif. Aku tanya langsung dan tebak jawabannya apa, "Karena aku tidak pernah melupakan ulang tahun kamu. Hanya saja selama ini
aku tidak punya kesempatan untuk melakukannya, karena kamu selalu punya
pacar." Perempuan mana yang tidak jungkir balik hatinya digombalin seperti
itu? Hahaha. Apalagi belakangan aku tahu bagaimana usahanya agar kue itu sampai
di kantorku di Jakarta padahal dia tinggal di Kalimantan sana.
Dari situ, kami kembali intens
berkomunikasi, walaupun hanya lewat telepon. Karena ternyata dia tinggal di
Samarinda, Kalimantan Timur. Tapi karena urusan pekerjaan, dia juga sering
datang ke Jakarta. Dari obrolan lewat telepon, kenangan-kenangan lama kembali
terasa. Cita-cita dan impian masa SMA kembali berirama. Menciptakan musik
istimewa untuk kisah kami berdua.
Februari 2014, dia kembali memintaku untuk
pacaran dengannya. Kali ini aku menerimanya karena kami langsung merencanakan untuk
menikah. Tidak hanya sekedar pacaran yang tidak jelas. Waktu terus berjalan.
Aktivitas dilakukan seperti biasa. Kami LDR, hanya bertemu sebulan sekali, atau
kapanpun dia punya pekerjaan di Jakarta, tapi kali ini terasa ringan. Mungkin
karena kami punya tujuan yang jelas.
Aku benar-benar bahagia saat itu. Aku
merasa Tuhan sudah menjawab doa-doaku dengan mengirimkan dia kembali padaku.
Kondisi keuangannya juga sudah lumayan settle. Walaupun kami jarang bertemu,
tapi ketika bertemu kami benar-benar memiliki waktu yang berkualitas. Kami
membicarakan dan merencanakan banyak hal.
Dia sangat tahu apa yang aku suka. Baca dan makan. Jadi ketika dia datang, maka dia akan memanjakanku dengan mengajak
ke toko buku, menyuruhku memilih buku apapun yang ingin kubeli, dan tentu saja
mengajakku mencoba makanan-makanan enak. Kadang, kami hanya menghabiskan waktu
di apartemennya dengan membaca, karena dia juga suka buku. Bedanya, aku baca
novel, dia baca buku tentang ekonomi, strategi marketing, kadang politik, atau
buku pengembangan diri. Di lain waktu, ketika bosan dengan mall, pagi-pagi buta
kami ke Ancol. Melakukan hal sesederhana sarapan di pinggir pantai, atau
mencoba naik gondola untuk pertama kalinya. Kali lain, dia tiba-tiba
mengirimiku satu set DVD asli Harry Potter, lengkap dengan surat cinta yang
ditulis tangan, karena tahu aku tergila-gila pada HarPot. Hidupku seperti surga
waktu itu. Teman-temanku juga senang karena aku punya calon suami yang sangat
baik. Karena dia memang tidak pernah pelit sama sekali, tidak hanya kepadaku,
tapi ke keluargaku juga.
Bulan demi bulan berlalu, aku mulai
bertanya kapan dia akan melamarku ke ibuku. Dia menjanjikan waktunya. Aku
senang sekali. Namun tiba saat yang ditentukan, dia tiba-tiba bilang belum bisa
karena ada urusan mendesak. Aku kecewa, tapi kupikir tidak apa-apa, nanti bisa
kami atur lagi waktunya. Kedua kalinya, aku merasakan kekecewaan yang sama
karena ada alasan lain yang juga tidak bisa menunggu. Ibuku mulai
mempertanyakan keseriusannya. Saat itu aku masih berusaha menutup-nutupi dengan
berbagai alasan untuk meyakinkan ibuku. Ketiga kalinya, hal yang sama terulang
lagi. Dia sudah berjanji tapi pada akhirnya kembali batal. Dan terakhir,
janjinya yang keempat kalinya juga gagal karena urusan pekerjaan.
Akhirnya, aku juga sudah tidak bisa
memberikan kesempatan. Beberapa kali kami adu argumen. Aku mulai menyadari,
selama ini aku bukan prioritas. Aku selalu kalah dengan pekerjaannya. Untuknya,
urusan pekerjaan selalu nomor satu. Aku galau, antara ingin meneruskan hubungan
tapi takut dikecewakan lagi. Ingin mengakhiri hubungan tapi umurku sudah hampir
29. Akhirnya aku berserah. Aku ingat Tuhan, aku istikharah (dalam agamaku ini
berarti kita meminta petunjuk untuk diberikan keputusan terbaik dari beberapa
pilihan). Walaupun perasaanku masih ada untuknya, tapi kekecewaan berulang yang
aku rasakan mampu menggerus rasa sayangku padanya. Hal paling menyakitkan
buatku adalah karena dia juga sudah membuat ibuku kecewa. Dia boleh
menyakitiku, tapi tidak jika sudah menyangkut perasaan ibuku.
Jadi, di September 2015, akhirnya aku
membuat keputusan. Aku menyudahi hubungan kami. Keputusan itu sempat membuatku
sangat jatuh. Perasaan sedih kehilangan orang yang sudah bertahun-tahun kita
kenal, dan sangat mengenal kita. Perasaan sedih kehilangan orang yang kita
pikir jodoh kita. Rasanya air mata sudah tidak bisa mewakili perasaanku saat
itu. Berbaris-baris tulisan marah dan sedih aku keluarkan. Semua itu tidak bisa
serta merta menghilangkan rasa sedih dan kehilanganku. Aku mengerti semua butuh
proses, tapi sungguh, prosesnya sangat menyakitkan. Tapi, di balik semua
kesedihan itu, di dasar hatiku aku percaya Tuhan sudah menunjukkan jalan
terbaik.
Aku mengerti semua butuh proses, tapi sungguh, prosesnya sangat menyakitkan.
Setelah itu, aku pasrah menjalani
hari-hariku. Omongan-omongan orang yang semakin keras dan menyakitkan, aku
terima dan biarkan lewat di telingaku. Saat itu tak ada bayangan sama sekali
kapan aku akan menikah, atau dengan siapa. Berkali-kali gagal dalam hubungan
dengan laki-laki membuatku enggan memulai lagi. Sebagai informasi saja, ini
adalah ketiga kalinya aku gagal menikah. Aku benar-benar pasrah. Aku biarkan
Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri. Aku percaya Tuhan sudah menyiapkan
sesuatu yang indah untukku.
**
Juli 2016, seperti biasa aku pulang ke
kampung halaman untuk berlebaran bersama keluarga. Saat itu, aku dikenalkan
dengan seorang laki-laki yang lebih tua enam tahun dariku. Tetanggaku di
kampung, tapi belum pernah bertemu sama sekali. Karena aku pun sedang sendiri,
aku menerima saja perkenalan itu. Nothing to lose lah kupikir. Tidak ada
bayangan apapun, ibuku bilang kalau cocok bagus, kalau tidak pun tidak apa-apa.
Namanya juga usaha.
Singkat cerita, ternyata aku cocok ngobrol
dengan orang ini. Pembicaraan kami mengalir santai dan asik. Pada pertemuan ketiga,
dia menanyakan apakah aku bersedia untuk melanjutkan hubungan ini ke
pernikahan. Aku kembali galau, kami baru tiga kali bertemu, dan dia sudah
menanyakan hal itu. Dia bilang, apalagi yang kami tunggu. Umur sudah cukup,
pekerjaan sudah ada, hanya kurang pendamping hidup saja. Lalu aku berdiskusi
dengan ibuku dan tanteku, tidak lupa kembali istikharah. Akhirnya, aku menjawab
iya.
Lalu semuanya berjalan seperti mimpi.
Perkenalan resmi keluarga, penentuan tanggal lamaran, tanggal pernikahan,
persiapan pernikahan, semuanya langsung dikerjakan.
Dia melamarku tanggal 23 Oktober 2016,
tepat di hari ulang tahunku yang ke 30. Dan itu adalah hadiah terindah yang
pernah aku terima sepanjang hidupku. Perasaan bahagia yang kurasakan ketika
dulu seseorang tiba-tiba mengirimkan kue ulang tahun, tiba-tiba terasa seperti
butiran pasir di tengah gurun. Tidak ada apa-apanya dibandingkan ini.
Dan akhirnya, 25 Desember 2016 aku menikah
dengannya. Laki-laki yang dikirimkan Tuhan melalui perantara ibu, tante, dan
sepupuku. Laki-laki yang aku percayakan seluruh perasaanku padanya. Laki-laki
yang mampu mengusir kenangan semua laki-laki yang kutemui sebelum dia.
Laki-laki yang aku percaya akan menjadi imam yang baik untukku dan anak-anakku
kelak.
***
Selalu berbaik sangkalah pada Tuhan. Karena Dia tidak akan pernah meninggalkanmu ketika kau percaya dan menyerahkan hidupmu pada-Nya.
Setiap orang punya dongengnya sendiri.
Selalu berbaik sangkalah pada Tuhan. Karena Dia tidak akan pernah
meninggalkanmu ketika kau percaya dan menyerahkan hidupmu pada-Nya. Dia
benar-benar tahu apa yang terbaik untukmu dan kapan waktu paling tepat untuk
memberikannya padamu. Dan percayalah, ketika tiba saatnya, kau tidak akan
pernah menyangka apa yang Dia berikan, dan bagaimana cara Dia memberikannya
padamu. Kau hanya akan bersyukur, bersyukur, dan bersyukur :)
Author : Puan Belba
Pict Source : Here
0 komentar: