Pagi itu masih sama seperti pagi yang lainnya. Cahaya masuk melalui ventilasi dan jatuh tepat di wajahku. Aku memang sengaja mengatur posisi tempat tidurku sedemikian rupa, agar ketika matahari pukul 06.30 masuk menembus ventilasi tepat mengenai wajahku. Aku masih berbaring sembari mengumpulkan kesadaranku secara utuh, ku dengar ada beberapa orang yang berbincang di luar kamar kost. Ketika beranjak dari tempat tidur, entah dari mana datangnya ide gila itu, aku memutuskan untuk melakukannya. Aku ingin mati. Saat itu juga. Tanpa pikir panjang, aku mengambil silet yang aku sendiri lupa kenapa bisa ada di atas meja, sebab selama ini aku selalu menggunakan pisau cukur langsung pakai.
Aku masuk ke kamar mandi, duduk di lantai, dan langsung menyayat pergelangan tangan kiri. Seketika darah mengalir. Perih. Aku menatap darah yang mulai membasahi lantai kamar mandi dengan perasaan hampa. Merasa tak cukup hanya dengan menyilet pergelangan tangan, aku mengambil shampo, dan menenggak isinya. Beberapa tegukan, aku ingin muntah. Setiap kali perutku berkontraksi ingin mengeluarkan isinya, seketika semua kenangan seolah saling silang menyilang di depan mata. Pelecehan yang dilakukan oleh kakek dan pamanku, jambakan ayah sembari menyeretku sejauh belasan meter, ibu yang menangis sembari bercerita betapa puasnya dia telah memukul ayah saat bertengkar hebat, ayah yang berhalusinasi sembari menghisap asap dari bong, wanita tak kukenal yang bermesraan dengan ayah di sofa, hinaan dari teman-teman, caci maki dari seorang guru, hingga wajah yang dilempari lembaran uang oleh seorang tante yang terpuaskan hasratnya. Semuanya seolah hadir kembali di depan mata secara nyata. Dan tak lama, semuanya gelap. Gulita. Inikah rasanya mati?
Sedari kecil, aku selalu ingin mati lebih cepat. Jika ditanya cita-citaku apa, maka aku hanya ingin mati. Tentu saja itu hanya aku yang tahu. Entah mengapa, mati kupandang sebagai sesuatu yang indah. Sebagai satu tujuan yang ingin kugapai dengan segera. Namun hingga hari itu, matiku belum juga datang. Malaikat maut belum sudi menampakkan wajahnya di depanku. Hingga aku merasa, aku harus menjemput kematianku sendiri. Aku datangi sang kematian, Si Pengecut yang tak kunjung menyapa.
Namun Tuhan memang senang bercanda dengan umat-Nya. Di saat aku telah menjemput kematianku sendiri, Dia tetap membiarkan aku hidup. Hidup dengan segenap rasa sesak akan semua kenangan itu. Tapi satu yang aku pahami, Tuhan itu Maha Adil. Jika hidup ini adalah permainan, maka Dia adalah wasit paling fair. Dia kirimkan kepadaku manusia-manusia luar biasa yang bisa menguatkanku. Yang membantuku melewati masa-masa sulit. Yang memelukku tanpa tendensi. Yang menggenggam tanganku erat. Yang memakiku dengan tepat. Yang menjembataniku dengan berbagai hal yang aku suka.
Aku masih hidup. Masih bernafas. Masih menghirup aroma petrichor sehabis hujan. Masih mengarungi birunya lautan. Masih menginjakkan kaki di puncak gunung. Masih tertawa dengan lepas. Dan masih mampu mencintai.
Masihkah aku merindu mati? Masih. Namun aku takkan menjemputnya. Aku ingin dia datang sendiri. Menunggunya sembari aku membahagiakan orang-orang di sekelilingku. Menikmati hidupku. Oksigen yang terhirup tak lagi sama. Setiap helaan nafas semakin menguatkanku menjalani hidup. Ada cinta yang tak terhingga yang menanti untuk kurengkuh. Ada jutaan asa yang ingin aku gapai. Hingga nanti kematian itu datang, maka aku mati dengan cara terhormat.
Oksigen yang terhirup tak lagi sama. Setiap helaan nafas semakin menguatkanku menjalani hidup.
Author : Arga Mulya
Pict Source : Here
0 komentar: