Tiap manusia diciptakan berpasangan-pasangan, Adam dan Hawa, Romeo dan Juliet, Sodom dan Gomorah. Yang terakhir tentunya dilaknat lan...

Berhenti Mencinta



Tiap manusia diciptakan berpasangan-pasangan, Adam dan Hawa, Romeo dan Juliet, Sodom dan Gomorah. Yang terakhir tentunya dilaknat langit dan bumi. Tak ada tempat bagi mereka, pun bagiku dan cinta pertamaku. Cinta yang tumbuh saat media sosial baru belajar merangkak dan belum tumbuh gigi. Cinta yang membuatku jatuh bangun berulang kali meski sudah tahu sakitnya seperti apa. Cinta yang menyadarkanku bahwa cinta tidak bersyarat, tak harus lelaki dengan perempuan.

Cinta pertama selalu berkesan. Bahkan tidak perlu alasan untuk kemudian kita kembali pada cinta pertama setelah puluhan cinta yang lain. Ibarat menemukan sepatu yang kita taksir pertama kali, meski berkeliling ke toko lain untuk perbandingan harga dan model, pasti kita akan balik ke toko pertama. Ya karena sudah kadung cinta sama yang pertama. Pada 2009 mengenal cinta pertama yang dilarang agama, hingga akhirnya 2011 memutuskan untuk mencoba sepatu di toko yang lain. Namun tak pernah sama.

Cinta dan sayang masih mengakar di antara kita berdua. Entah apa yang membuatku kepayang dengan dirinya. Aku bukan orang yang gampang jatuh cinta. Begitu pula dirinya. Seperti ada keterikatan antara kita secara batin dan pola pikir. Sampai akhirnya kita kembali berpelukan dan bertukar liur di tahun 2014. We’re leo and we’re in love. Itulah kalimat yang selalu kita dengungkan di awal hari penambatan hati. Sama-sama keras kepala, namun selalu setia. Kedatangannya di Jakarta semakin mengukuhkanku bahwa kita mungkin ditakdirkan bersama walau dengan laknatan bumi dan serapah langit.

Tanpa harus menahan malu dan gengsi, dia paling menerimaku apa adanya. Mencintai kekurangan dan kelebihanku. Akupun demikian. 

Sampai pada akhirnya kita berdebat tak berkesudahan, tentang hubungan yang dia mau dan aku mau. Baru kali itu, aku dan dia tak bersapa lumayan lama. Pertengkaran yang paling parah diantara kita, karena hanya diam tak berkata, meski kita tinggal seatap. Hidup di Jakarta membuatku gelap mata. Bahwa masih banyak yang lebih istimewa dibanding dia yang bisa kudapat. Namun aku salah. Tak ada yang lebih mencintaiku daripada dia. Tanpa harus menahan malu dan gengsi, dia paling menerimaku apa adanya. Mencintai kekurangan dan kelebihanku. Akupun demikian. Namun semua terlambat. Ketika aku ingin merajut kembali sepatu lamaku, dia sudah bersama yang baru. Ketika aku berjanji untuk berubah, dia sudah menutup pintu hatinya rapat-rapat. Tak ada lagi kenangan tentangku di dirinya.

Di malam takbir saat semua menangis karena mengingat dosa, aku menangis karena aku tak berhasil memperbaiki khilaf. Khilafku pada dirinya. Aku mengingat setiap kata yang dia ucapkan, meski lewat whatsapp. Sebuah penolakan. Saat itu kuputuskan, aku akan menunggunya, sampai kapanpun. Kini dia sudah berbahagia bersama tambatan yang lain, aku hanya mengamati. Tiada hari tanpa kulihat kesehariannya lewat media sosialnya. Tuhan, aku masih butuh dia. Dalam doaku, semoga kalian segera putus. Tapi tak pernah terkabul. Mungkin Tuhan sedang memberiku pelajaran. Pelajaran karena aku homo dan mempermainkan perasaan. Tak akan pernah kusudahi perasaanku padanya. Maka itu aku berhenti mencinta hati yang salah. Menutup rapat dan memasang nomor kombinasi yang hanya bisa dibuka oleh dia, yang hatinya pernah kupatahkan.



Author : Namaste
Pict Source : Here



0 komentar: