Kami tumbuh bersama, tertawa, berlari, bermain hujan dan menatap gemintang. Jatuh cinta kah atau terlanjur bergantung padanya, aku tid...

Aku akan Baik-baik Saja



Kami tumbuh bersama, tertawa, berlari, bermain hujan dan menatap gemintang. Jatuh cinta kah atau terlanjur bergantung padanya, aku tidak tahu, yang aku tahu hariku sempurna ketika dia ada.

Dia adalah tetanggaku, memang 3 tahun lebih tua dariku tapi kami bersahabat sejak kecil. Segalanya kami bagi bersama, suka, duka, tawa dan tangis. Saat ayah dan ibunya berpisah aku ada untuknya, saat aku yang anak tengah tak dipedulikan orang tuaku, dia ada untuk menyorakiku dan merayakan keberhasilanku mendapat juara kelas. Saat ibunya pergi karena bertengkar dengan ayahnya, tidak ada yang menyiapkan makan sahurnya, aku akan mengendap endap menghantarkan pizza mie untuknya lewat pintu dapur. Bersamanya aku percaya diri, bersamaku dia merasa kuat.

Bersamanya aku percaya diri, bersamaku dia merasa kuat. 

"Aku punya pacar"

"Hmm.... terus?"

"Cantik, bodinya sip, putih."

"Ya...ya..ya... nggak kayak aku yang tipis dan item kan? Oke.. bhay... kencan sana, aku mau tidur saja."

Aku mendorongnya keluar rumahku. Melambaikan tanganku tanda mempersilahkannya pergi kencan. Dia memang playboy, padahal muka biasa saja, nggak tinggi juga, apa kerennya sampe cewek-cewek itu mau jadi pacarnya.

Hanya saja, paling hari-hari kencannya tidak berlangsung lama, dia akan datang lagi, mengaku jomblo dan mengganggu waktuku membaca novel, menarik-narik tanganku dan mengajak jalan, nonton, nongkrong, seperti biasa.

"Kira, kenapa kamu suka melihat bintang-bintang itu?"

Dia bertanya dengan tatapan penuh ingin tahu. Aku menggeleng, masih melihat kerlap-kerlip bintang-bintang di langit. "Nggak tahu, damai saja rasanya..."

"Damai? Kayak apa? Kayak minum kopi berdua sama aku?" ujarnya penuh percaya diri dan menggerak-gerakan alis lebatnya. Aku tertawa. " Ya.. seperti ketika kamu ada."

Dia memelukku, bukan pelukan yang biasa, bukan pelukan sahabat. Ini pelukan yang lain. "Jika aku bintangmu, maka kamulah cahayaku."

"Aku sudah punya pacar," aku mengatakannya dan dia terkejut, melepaskan pelukannya.

"Pacar?"

Aku mengangguk. Selama ini hanya dia yang sibuk berganti pacar. Kali ini kenapa aku tidak punya pacar juga? Dia tampak cemburu dan aku bahagia, puas rasanya. Meskipun usia pacaranku hanya beberapa bulan dan putus, tapi melihatnya cemburu adalah kenikmatan tersendiri. Memang cuma kamu aja yang bisa punya pacar hahahaaa...

Tahun-tahun berganti, kami saling beradu membuat cemburu. Tidak ada yang mengalah dan mengaku jatuh cinta. Atau memang kami tidak pernah saling jatuh cinta? Entahlah.



Tahun 2005, aku sudah lelah melihatnya datang dan pergi. Melihatnya tampak begitu manis meletakan mawar di rak bukuku, menggantinya setiap hari hingga tiap pulang sekolah aku mendapati bunga baru yang segar. Namun beberapa hari kemudian, dia pamit berkencan dengan pacar barunya. Puncaknya ketika dia mengatakan terpaksa melamar pacarnya, karena ternyata dia sepupu dari sahabatnya, dan keluarganya meminta mereka menikah. Aku lelah. Lelah dengan perasaanku. Maka segera setelah lulus sekolah aku memutuskan bekerja di sebuah resto yang memiliki mess dan mewajibkan karyawannya menginap di mess. Ini kesempatanku menjauh darinya. Aku pergi. Aku menghilang, mengubur perasaaanku.

Aku menikmati bekerja siang hingga malam. Lelah menjadi pelarianku, agar tidak menangis. Tidak punya waktu dan energi lebih untuk menangis.

Hingga suatu hari dia menemukanku, melacak keberadaanku dengan bertanya ke keluargaku. Dia datang menemuiku, aku berlari memeluknya. Aku mencintaimu, mencintaimu... tapi aku hanya mampu mengucapkannya dalam hati.

"Aku akan menikah," bisiknya di telingaku.

Aku melepaskan pelukanku. Terdiam, tak percaya, dan hanya mampu berkata, "Selamat."

Bertahan tetap waras adalah hal yang sulit saat itu. Sebagai pelampiasannya aku memforsir energiku untuk bekerja dan olahraga. Diam adalah pantangan bagiku, sekali aku terdiam, aku akan mengingatnya dan menangis tak terkendali.

Lebih sulit dilakukan karena dia sudah tahu keberadaanku dan sesekali berkunjung ke resto. Hingga suatu hari, membawa tunangannya ke resto. Aku sedang jam istirahat, bersiap tidur siang ketika seorang teman mengetuk pintu kamar.

"Ada cewek dan cowok di meja 14, mereka pesan kamu." Lilis menyodorkan kertas order menu dan disitu ada tulisan KIRA, dikira aku makanan kali dipesan begitu.

"Siapa?"

"Cowok yang sering ketemu kamu."

"Hah? Bawa cewek? Bilang saja aku lagi tidur."

"Mereka mau nunggu katanya."

Waduh. Aku kesal. Malas menemui mereka, dan memilih merapatkan selimutku. Aku harus tidur masih ada sift 2 yang menguras tenaga sampai jam tutup resto pukul 21.00 nanti.

Tapi sampai waktu off ku habis, mereka masih ada. Aku menuruni tangga perlahan, sepatu kerjaku belum dipakai, berharap bisa pura-pura sakit dan kembali ke kamar. Dia melihatku, menghampiri dan mendudukanku di depan calon istrinya.

Dia mulai bercerita bahwa mereka bertengkar karena calon istrinya mengira dia mencintaiku, kebiasaannya menceritakan tentang aku membuat calon istrinya merasa cemburu. Aku diminta menenangkannya.

Bagaimana bisa? Hatiku menjerit-jerit, tapi mulutku diam dan sekuat tenaga mencoba tenang.

Ya... dia hanya mencintaiku, dia terpaksa menikah denganmu karena tidak enak hati dengan sepupumu yang ternyata sahabat karibnya. Aku menelan ludah.

"Aku dan calon suamimu tidak ada hubungan selain teman. "

Aku mengatakannya dengan perjuangan luar biasa. Dia tersenyum, baju tidur, sandal rumah, sepertinya perempuan ini menginap di rumahnya. Ada yang berkobar di dadaku. Beberapa kalimat penghiburan dan aku pamit ke meja kasir dengan alasan ini waktuku bekerja.

Hari itu tiba, saat dia melangsungkan pernikahannya. Aku memilih tidak hadir, aku mengurung diri di kamar mandi, menangis berjam-jam sampai lemas dan kantung mataku bengkak. Kali ini saja, biarlah... selama ini aku menahan air mata ini, sekali ini saja aku lepaskan. Sekali ini saja.

Suatu hari dia mencegatku di jalan. Memintaku untuk pergi berdua dengannya. Aku menatap mata itu, masih sama, caranya memandangku masih sama. Tapi mana bisa, hatiku berontak.

"Jika aku bersedia pergi berdua bareng kamu, apa itu akan membuat kamu memilih aku dan meninggalkan istri kamu?"

Dia tampak terkejut dengan pertanyaanku. Lalu menggeleng, "Tentu tidak"

"Kalo begitu aku nggak mau."

"Aku nggak bisa lupain kamu, kamu terlalu sempurna buat aku."

"Oh ya? Sayangnya kamu gak pernah milih aku." Aku berlalu pergi meninggalkannya. Sekuat tenaga menahan keinginan untuk menoleh ke belakang.

Kenapa aku harus bersedih untuk orang yang bahkan tidak pernah mau memilihku? Aku akan baik - baik saja. 

Yaaa... dia tak pernah memilihku. Tak pernah, sekalipun. Kenapa aku harus bersedih untuk orang yang bahkan tidak pernah mau memilihku? Aku akan baik-baik saja. Aku akan tetap hidup, mungkin tak lagi menatapi bintang-bintang, tak apa. Aku akan baik-baik saja tanpanya.



Author : Vishaka Kira
Pict Source : Here

0 komentar: