Hari-hari dalam minggu ini terasa tak ada
yang menyenangkan. Sepertinya semua diawali dengan kondisi badan yang terlalu
lelah hingga tak bisa bekerja normal seperti biasa. Saya adalah seorang guru SD
di sekolah yang semacam International School. Dengan dual kurikulum, berbahasa pengantar
Bahasa Inggris dan kebudayaan yang jauh dari sekolah negeri. Selama sekolah saya
berdiri, upacara hanya dilakukan setahun sekali yaitu saat 17 Agustus. Mulai
minggu depan akan diberlakukan upacara bendera setiap hari Senin. Maka saya
ditunjuk sebagai pelatih paduan suara.
Suara saya sendiri tidak terlalu jeleklah,
tapi saya merasa kesulitan melatih anak-anak ini bernyanyi lagu Nasional karena
mereka tak pernah mendengarnya. Hanya dalam waktu lima hari, anak-anak ini
harus bisa menyanyikan 3 lagu Nasional. Baiklah, anggap saja itu adalah hal
yang mustahil. Tibalah hari ketika semua petugas upacara berlatih bersama.
Anak-anak yang saya latih adalah anak kelas 5, sementara petugas upacara dari
kelas 6. Saya lumayan merasa terpojok ketika guru kelas 6 mulai menginterupsi kelompok
paduan suara. Kurang ini, itu, anu, yang mana anak-anak yang dia latih pun
tidak sempurna.
Saya mencoba menenangkan diri dengan
berpikir bahwa sayalah yang terlalu sensitif. Meski memang sebetulnya saya tersinggung
dan sakit hati dengan arahan dan komentar guru kelas 6 tersebut tapi
yasudahlah.
Di hari yang lain, saya mengalami
kehilangan yang cukup membuat jiwa saya terguncang. Adalah soal final test yang
harus dibuat oleh setiap guru mapel untuk dikumpulkan sebelum tanggal tertentu.
Saya sudah selesai membuatnya. Karena saya mengajar dua mata pelajaran, maka
saya buat juga dua soal; satu untuk Bahasa Inggris dan satu untuk Character Building.
Sayang, ketika akan saya print out ternyata datanya hilang. Entah karena apa
saya tidak memiliki salinannya. Kesal, marah, kecewa, sedih, panik dan malas
semua bercampur menjadi satu. Yang membuat perasaan saya semakin buruk adalah
rasa-rasa itu tumbuh terhadap diri sendiri. Saya benci menjadi saya. Yang
bodoh, pelupa, ceroboh dan tidak sempurna.
Berhari-hari saya larut dengan perasaan
jijik pada diri sendiri. Selayaknya kita melihat pasangan kita selingkuh di
depan mata, tentu rasanya kita tak ingin lagi melihatnya masih berkeliaran di
bumi ini. Sama, kira-kira semacam itulah perasaan saya. Sayangnya saya belum
mau mati juga, anak saya masih kecil, kasihan.
Tak ingin terus larut dalam perasaan yang
tidak nyaman, saya berusaha mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Toh kenyataannya
saya sudah membuat soal yang baru dan sudah selesai. Tahu teorinya tidak membuat
orang langsung bisa praktiknya. Saya tahu teori mengikhlaskan tapi saya belum
sepenuhnya mengikhlaskan apa yang terjadi pada saya.
Selang satu atau dua hari kemudian, saat
rapat guru di sekolah, salah satu teman saya "nyeletuk" bahwa cara
berpakaian saya suka tidak nyambung. Lagi dan lagi, saya sakit hati. Rasanya
hati saya yang sudah patah itu baru saja selesai saya sambung, eh sudah
dipatahkan lagi sama orang.
Mungkin memang benar bahwa saya tidak tahu
cara berpakaian yang benar namun karena hal itu dikatakan oleh orang yang menurut
saya suka memaksakan kehendak berpakaiannya tanpa mengindahkan himbauan dari
bentuk tubuhnya, jadilah dia seperti ondel-ondel yang berbadan raksasa dengan pakaian
warna-warni dan atribut lengkap, mungkin untuk menunjukkan kekayaannya.
Suami saya bilang tak usah saya pedulikan
kata-kata orang yang bahkan tak juga memberi saya baju untuk dipakai. Ya
begitulah teorinya. Praktiknya saya bukannya ikhlas tapi malah ingin mempermalukan
mereka yang menertawakan saya.
Hari-hari saya yang buruk ini membuka mata
saya tentang patah hati, bahwa hati tak hanya bisa dipatahkan oleh cinta. Kebencianlah
yang justru lebih mudah mematahkan hati seseorang. Sebetulnya kekuatan hati hanya
ada pada satu hal yaitu keikhlasan. Begitulah teorinya.
Praktiknya? Ya
sudahlah...
Author : Aicha
Pict Source : Here
0 komentar: