Adakah insan di dunia ini yang tak mengenal cinta? Ku kira tak ada. Setiap manusia memiliki hak untuk mencintai dan dicintai. Namun, man...

Tak Cukup Saling Mencinta



Adakah insan di dunia ini yang tak mengenal cinta? Ku kira tak ada. Setiap manusia memiliki hak untuk mencintai dan dicintai. Namun, manakah yang lebih bahagia? Mencintai atau dicintai? Sepertinya bahagia akan tercipta jika kita dapat dicintai oleh orang yang kita cintai.

Kisah ini berawal dari tiga tahun yang lalu saat rasa itu muncul secara perlahan. Detik itu aku menatapnya, tepat saat senja berlabuh manis di langit biru. Hampir tak ada kata yang terlontar, tapi mata kami saling berinteraksi. Aku melihat rasa yang mulai tumbuh di bola matanya, juga di mataku. Bagaimana rasanya? Ah, bahagia bukan main. Memang kami tak terlalu menghiraukan sebuah status. Ada yang lebih penting dari status, yaitu aku mencintainya dan dia mencintaiku. Itu sudah lebih dari cukup.

Pertemuan pertama telah berhasil merampas waktu-waktu senggangku. Hampir tiada celah untuk aku memikirkan hal yang lain. Setiap detik bayangnya selalu hinggap, aku tak mampu menepis. Ya, mungkin ini yang disebut cinta. Aku tak mampu menutupi bayangnya dengan benda apapun. Dalam keadaaan tidur pun, ia tak lelah juga untuk menjenguk. Berlebihan memang, namun bukankah sesuatu yang dianggap istimewa selalu bernilai lebih?

Sepertinya memang tak pantas jika kami hanya menyepakati sebuah perjanjian bahwa aku adalah miliknya dan dia adalah milikku tanpa kata “kekasih” secara resmi. Pada akhirnya ia menawarkan suatu hal yang memaksa otakku untuk berpikir lebih dalam lagi. Pertanyaan yang kurasa sulit untuk ku jawab, “Bolehkan aku menjadi kekasihmu?” Bukankah selama ini kita merupakan sepasang kekasih? Mungkin bukan, karena dari awal aku memang belum sempat mengucapkan kata “iya” meskipun kami saling mengetahui bahwa kami saling mencintai. Agak bodoh memang, mau-maunya menjadi seorang perempuan dalam hubungan tanpa status yang bahasa kerennya adalah HTS. Dan saat ia menanyakan lagi dengan entengnya aku menjawab, “Kita masih bertemu sekali, tunggulah sampai kita bertemu ketiga kalinya.” Konyol memang kenapa bisa terlontar kalimat seperti itu dari mulutku. Siapa dapat menjamin jumlah pertemuan bisa menentukan ketulusan hati seseorang?

Semakin jauh kami melangkah otakku semakin yakin bahwa dia memang yang terbaik. Aku semakin berharap bahwa dia adalah yang ditakdirkan untuk tinggal di relung hati. Tutur katanya yang lembut pada akhirnya membuat aku luluh. Jujur, sebelumnya aku belum pernah jatuh cinta. Sebelumnya hatiku memang kujaga dengan seksama karena aku tidak mau tempat yang kurawat dengan sedemikian rupa dimasuki oleh orang yang salah. Ya, ini hati, pikirku. Bukan warung kopi yang bisa saja didatangi oleh siapapun dalam sekejap, tapi setelah itu pergi.

Pertemuan kedua terjadi. Pada saat itu di persimpangan kota saat fajar mulai menyapa. Aku tetap menunggu kata-kata itu darinya. Kata-kata yang dapat mengubah status kami menjadi lebih legal, anggap saja begitu. Namun, kata-kata tersebut tak jua terlontar dari mulutnya. Aku baru tersadar. Memang aku sendiri yang meminta hal tersebut dikatakan pada pertemuan yang ketiga. Dan ini, masih pertemuan kedua. Aku heran, kenapa hatiku dapat begitu cepat terpaut padanya. Aku tak mengerti.

Semakin lama rasa ini semakin menggelora. Saat itu, tepat setahun kami saling mengenal dia mengajakku bertemu ibunya. Aku berpikir ini adalah tanda keseriusannya yang mulai terlihat dan perlu diketahui, ini adalah pertemuan ketiga. Pertemuan yang kutunggu-tunggu. Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut ibunya adalah, “Rumahnya mana?” Kami memang tinggal satu kota, tapi beda daerah. Setelah aku menjawab, tiba-tiba wajah wanita setengah baya tersebut berubah menjadi agak muram. Dan kata-kata yang kutunggu tak jua diucapkan. Aku sedikit kecewa.

Keesokan harinya aku menerima sebuah kabar yang membuat hatiku seperti tersambar petir. Sakit rasanya. Tidak, dia memang tidak menyakitiku. Namun, aku tersakiti oleh sebuah keadaan. Dia bicara via ponsel dengan nada terbata-bata, ibunya tak merestui hubungan ini. Dan alasannya adalah karena adat. Kami asli orang Jawa yang penuh dengan aturan-aturan adat yang harus dipatuhi. Konon katanya, lelaki tak boleh mendapat calon yang arah rumahnya ke barat-utara. Dan itu terjadi pada kami. Pada akhirnya, hubungan kami memang tidak bisa diteruskan.

Siapa dapat menjamin jumlah pertemuan bisa menentukan ketulusan hati seseorang?

Kini aku menyadari bahwa saling mencintai saja tak cukup membuat dua insan untuk saling bersama. Dan kini, aku harus me-restart hati agar kembali kosong untuk dapat menerima lelaki lain yang akan menjadi penggantinya. Sulit memang, tapi inilah takdir. Aku memilih berpikir positif dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Mungkin ini pertanda bahwa dia bukanlah orang yang terbaik untukku menurut-Nya. Aku rasa, Dia lebih mencintaiku daripada dia.



Author: Ayudya D
Pict Source: Here

0 komentar: