Aku mengingat pagi itu. Udara pagi yang berkabut dan dingin. Jalanan masih sepi. Aku bergegas berangkat kerja setelah menikmati jatah cu...

Cemburu dan Kado Berwarna Ungu



Aku mengingat pagi itu. Udara pagi yang berkabut dan dingin. Jalanan masih sepi. Aku bergegas berangkat kerja setelah menikmati jatah cuti 4 hari. Lalu tiba-tiba dia muncul di hadapanku. Turun dari motornya, tersenyum dengan dua lesung pipinya. Sekejap ada yang menghangat di rongga dadaku. Mata itu, senyum itu. Namun buru-buru kunetralkan perasaaan itu dengan senyum datar seadanya.

"Hai.. mau kemana?" dia menyapaku, ringan, tanpa beban.

Dia tidak sendiri, perempuan itu menyusul di belakangnya. Berambut panjang, kurus, dan berkulit putih pucat. Perempuan itu menatapku tak suka. Aku memasang muka datar. Diam-diam merutuki kebodohanku karena memangkas habis rambut panjangku hingga hanya tersisa sebatas leher. Perempuan itu mengulurkan tangannya.

"Hai Lan, apa kabar? Fajar banyak bercerita tentang kamu."

Aku tersenyum basa-basi dan menyambut tangannya. Bersalaman. Berharap saat itu punya kekuatan menyetrum orang dengan jari-jari tangan, atau membunuh dengan kekuatan pikiran.

"Hai.." Lihatlah jari manisnya. Cincin itu. Cincin itu seharusnya ada di jari manisku. Akan tetapi kenyataannya tidak. Cincin itu ada di sana bukan di sini. Ah sudahlah.

"Emm.. maaf.. aku buru - buru, aku duluan yaa," kataku menyelamatkan diri dari perasaan campur aduk yang lebih menyiksa. Kebetulan ada angkutan umum yang berhenti tak jauh dari tempatku berdiri dan buru-buru aku menuju angkutan tersebut.

Aku tahu, sudah tak sepantasnya aku merasa cemburu. Mereka akan menikah. Kemudian hidup bahagia selamanya seperti ending sebuah cerita. Aku hanya akan berdiri di barisan para mantan yang mungkin sesekali diingat tapi pasti segera disingkirkan jauh-jauh. Hidup itu kejam nona!! Betapa pun cinta atau apalah manusia menyebutnya, tetap saja jodoh di tangan Tuhan. Hahahahaaa *garuk garuk tembok*

Sayangnya, semakin aku menghindar berpapasan dengan mereka, semakin sering Tuhan bercanda dengan mempertemukan kami. Iyaaaa semesta sungguh kelewat lucu. Seperti sore itu. Aku sedang di supermarket membeli peralatan mandi dan cuci seperti sabun, pasta gigi dan teman-temannya. Aku berhenti di counter parfum. Beberapa orang memang berdiri di sana dan aku tak begitu memperhatikan satu-persatu. Hingga ketika hendak mengambil parfum favoritku, aku melihat mereka. Di tangan perempuan itu ada parfum yang sama yang biasa aku pakai selama bertahun- tahun, dan Fajar tahu benar bahwa itu parfumku!

"Hai Wulan... sendirian?" tanya perempuan itu tanpa merasa berdosa, sumpah kata 'sendirian' terasa seperti pisau mak jleb nancap di punggungku. Iya sendirian, lah wong pacarku sudah jadi tunanganmu. Aku tersenyum terpaksa.

"Iya... duluan yaa," Aku bergegas ke meja kasir, menyambar cologne bayi sekenanya, gagal beli parfum.

Sepanjang jalan aku mengutuk dalam hati. Sialan, kampret, kurang ajar, dasar bodoh, sampe dipakein wangi parfumku tuh cewek! Emakkk.... aku gak mau pakai parfum itu lagi. 😭😭😭

***

Ini adalah malam terakhir aku mengijinkan hatiku merasa cemburu. Undangan itu tiba sore tadi. Berwarna putih dengan tinta kuning emas di bagian kolom nama. 'Kepada: Mama Wulan'. Aku ingin tertawa terbahak-bahak rasanya. Mama Wulan. Besok dia akan menikahi perempuan lain dan masih memanggilku 'Mama'? Lelucon macam apa ini!! Haruskah kado ini juga kutulis 'Buat Papa Fajar'?

Jadi sengaja aku memberinya kado sepasang mug dengan tulisan 'Mama' dan 'Papa'. Dalam masing-masing mug itu aku menyelipkan 3 sachet kopi capuccino. Aku dan dia sering mengahabiskan sore bersama, dengan segelas kopi capucino dan candaan bersama teman-teman. Mug ini, kopi ini, akan membuatku hadir dalam sore-sorenya. Tidak peduli kopi itu diseduh istrinya. Bungkusnya? Tentu berwarna ungu gemerlap. Ungu. Iya kadoku berwarna UNGU. Gak perlu aku jelasin kan? Ya Tuhan, aku kok jahat banget.

Baiklah, mari bayangkan mereka hidup bahagia. Suatu hari perempuan itu hamil, oh tidak, sekarang dia sudah hamil. Suatu hari perutnya membesar dan perempuan itu berolahraga pagi dengan berjalan kaki, baju hamil, dan Fajar menggandeng tangannya. Pemandangan yang menakjubkan bukan? Aku mengerang merasakan nyeri menghantam ulu hatiku saat bayangan itu muncul. Kamu tidak boleh lagi merasa cemburu, sudah cukup Wulan, jangan bodoh. Jangan kelewat tolol.

Jadi, apa aku hadir dan menyalami mereka di pelaminan? Tentu sajaaaaaa TIDAK!!! 😂😂 aku menitipkan kado itu pada temanku. Namun aku sudah berdamai dengan cemburuku. Sungguh.

Buktinya? Suatu sore aku sedang berjalan menuju rumah, dan melewati rumahnya. Rumah Fajar. Istrinya sedang ada di belakang rumah, duduk beristirahat mengelus perutnya yang besar, mungkin sebentar lagi melahirkan. Aku tersenyum kepadanya dari kejauhan, sekedar menyapa, tapi tulus. Sungguh, aku tak lagi merasa tercabik-cabik seperti ketika membayangkannya malam itu. Aku terbebas dari cemburuku. Yeayyy!!

"Lan, tahu Si Mira istrinya Fajar?"

"Hmmm??"

"Baru menikah beberapa bulan kok sudah 7 bulanan, dan....."

"Buuu...." aku memotong obrolan ibuku segera. "Sudahlah... Wulan lapar nih!"

Ibu menatapku dan tersenyum minta maaf. Ini pertama kalinya ibu menyebut nama Fajar setelah sekian lama. Dan aku memilih untuk tidak membahasnya. Bukan karena terasa tersayat-sayat. Akan tetapi sungguh karena merasa tak lagi perlu. Sudahlah, aku sudah merasa cukup dengan cemburuku. Aku akan melanjutkan hidup. Stok cemburuku sudah habis.

Satu hal yang tidak pernah ku tahu, Mira jauh merasa lebih cemburu kepadaku. Bagaimana Fajar selalu menyebut segala hal tentangku. Mira memang menikahi Fajar, tapi tidak pernah merasa memiliki hatinya.

Aku merasa kasihan. Sebab aku dan cemburuku sudah tuntas bertahun-tahun lalu. Akan tetapi lihatlah Mira... kasihan sekali dia.

Suatu hari, setelah bertahun-tahun berlalu, setelah aku memutuskan menikah dan tinggal di kota lain. Mira menghubungiku. Mengirimiku SMS yang panjang panjang menceritakan cemburunya. Mengatakan bagaimana ia cemburu melihat Fajar selalu memberi like pada foto sosmedku, dan menatapnya lama-lama. Bagaimana aku dan Fajar masih bertegur sapa di kolom komentar meski hanya sekedar, "Hai apa kabar?" Itupun hanya ku balas, "Baik, gimana kabar kamu dan keluarga?". Mira cemburu meski hanya dengan hal remeh seperti itu. Aku ingin tertawa penuh kemenangan, tapi takut kejahatanku nampak. Baiklah, aku menghapus semua pertemananku dengan Fajar di sosmed. Aku merasa kasihan. Sebab aku dan cemburuku sudah tuntas bertahun-tahun lalu. Namun lihatlah Mira... kasihan sekali dia. Dia terbangun di pagi hari dan ada di sisi Fajar, melahirkan anak-anaknya dan menua bersamanya, hal-hal yang dulu selalu aku impikan. Akan tetapi Mira cemburu padaku, yang hanya disapa lewat kolom komentar Facebook dengan kata 'Hai apa kabar?'. Kasihan sekali. Semoga itu bukan karena kesaktian bungkus kado berwarna ungu. #eehh


Author : Vishaka Kira
Pict Source : Here 

0 komentar: